"PRANNNNGGG..." mangkuk ayam kini tinggal kenangan. Hancur berkeping-keping, dihempas keras ke tembok.
Abi menutup matanya. Ia benci dengan keadaan, ia benci dengan pemikiran ayahnya yang egois. Menyimpan sesuatu yang berharga untuk dirinya sendiri.
Hujan lebat diiringi suara guntur. Angin malam semakin tidak berkompromi. Dingin menusuk hingga ke dalam sanubari. Tapi, tidak mempan bagi hati yang sedang diselimuti gundah.
"Belum tidur, nak?" hening malam terusik oleh suara berat Daeng Bahar.
Abi terkejut, sesaat ia menyesal, mengapa ia tidak bisa menahan emosinya. "Maa... Maaf, Yah," suara Abi terdengar lirih.
Daeng Bahar mengelus rambut putra sulungnya itu. Dari balik tubuhnya ia mengeluarkan sesuatu. Kotak Nenek Marewa ia sodorkan ke hadapan Abi.
"Bukalah, Nak. Kini saatnya engkau mendapatkan resep nenekmu," ujar Daeng Bahar.
Abi terpatung, ia seperti tidak memercayai apa yang kini berada di hadapannya. Ia memandang kembali wajah sang ayah yang mengangguk kecil kepadanya. Lengkap dengan senyumannya nan tulus.
Perlahan Abi menyentuh kotak kecil itu, membuka tutupnya. Bau wangi cendana menyeruak dari dalam kotak. Warna hijau kain beludru mendominasi bagian dalam kotak. Dan selembar kertas terlipat berada di sana.
"Bukalah..." Daeng Bahar kembali bersuara.
Abi mengambil kertas itu, dan membuka lipatannya. Matanya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang ia lihat.