Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

4 Cara Melatih Anak agar Tidak Menjadi Negaholic

11 November 2022   06:48 Diperbarui: 11 November 2022   06:54 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
4 Cara Melatih Anak agar Tidak Menjadi Negaholic (parentingscience.today)

Pada artikel sebelumnya saya menjelaskan mengenai sindrom negaholic. Alias kecenderungan seseorang untuk bersikap, bertindak, berpikir, dan berujar negatif.

Istilah Negaholic dicetuskan oleh Dr. Chrie Carter-scott, seorang pakar perilaku asal Nevada, AS. Negaholic mengacu kepada karakter seseorang yang selalu bertindak, berpikir, berujar, dan bersikap negatif.

Baca juga: Sindrom Negaholic yang Jauh Lebih Berbahaya dari Toxic

Sindrom ini termasuk salah satu jenis gangguan jiwa. Karena penderitanya sudah menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Padahal, sangat mengusik perasaan orang lain.

Penyebabnya karena timbulnya kekecewaan akibat adanya perbedaan antara ekspektasi dan kenyataan. Yang kemudian dialami oleh si penderita secara konsisten, dalam periode waktu yang lama. Bahkan mungkin sedari kecil, sudah menjadi sejenis trauma.

Trauma itu bisa saja berasal dari perlakuan yang tidak wajar di dalam keluarga atau lingkungan pertemanan. Untuk itu, peran orangtua sangatlah penting dalam mendukung perkembangan anak agar mereka tidak menjadi negaholic.

Tunggu dulu! Apa yang dimaksud dengan perlakuan tidak wajar?

Bagi saya, defenisi tidak wajar berkaitan dengan kondisi yang mendukung munculnya negaholic. Sayangnya, apa yang tidak wajar seringkali dianggap wajar oleh para orangtua.

Saya bersyukur saya bukan termasuk warga negaholic. Bukan berarti saya tidak pernah berpikir, bersikap, atau berujar negatif. Tapi, setidaknya saya menyadari kesalahan yang sudah saya perbuat dan memiliki usaha untuk memperbaikinya.

Semua itu membutuhkan proses. Tapi yang pasti, saya tidak memiliki trauma masa lalu yang mengarahkanku menjadi seorang negaholic.

Dan tentunya orangtua saya memiliki peranan penting terhadap hal ini. Apa yang mereka lakukan? Saya mencoba mereka-reka ingatan, dan mengambil beberapa contoh yang mungkin relevan.

Hentikan Tuntutan Tidak Wajar Bagi Anak

Saat saya bersekolah dulu, saya termasuk murid yang beruntung. Sebabnya orangtua saya tidak memberikan target akademik yang tinggi. "Yang penting tidak merah ujiannya," demikian kata mama.

Tapi, mama justru akan sangat marah jika saya tidak mengerjakan PR. Baginya itu sudah bukan soal kemampuan akademik lagi. Tapi, attitude.

Pada saat saya dewasa, saya baru memahami cara mama mendidik saya. Awalnya saya berpikir jika mama memaklumi kebodohanku. Nyatanya tidak sedangkal itu.

Baginya, prestasi akademik seharusnya dikejar secara alami. Bukanlah dalam bentuk pemaksaan. Lalu tidak mengerjakan PR adalah dosa besar baginya. Karena itu sama seperti malas berusaha.   

Kesimpulannya; mama ingin aku menjadi pribadi yang tumbuh secara alami. Yang penting berusaha, apapun hasilnya itulah yang terbaik.

Mengenalkan Bahaya Comfort Zone

Sewaktu kecil dulu, mama selalu memenuhi semua kebutuhanku. Dari makanan, pakaian, hingga mainan. Nenek protes. Katanya mama terlalu memanjakan diriku.

Tapi, mama punya prinsip sendiri, ia tidak memanjakanku. Nyatanya...

Saya tidak bisa menolak apa yang diperintahkan mama. Misalkan menjaga toko pada jam-jam tertentu. Mama tidak pernah kompromi untuk hal yang satu ini. Tidak peduli apakah aku sedang ngantuk atau lagi bermain di rumah tetangga.

Ketika dewasa, saya baru sadar bahwa apa yang dilakukan mama adalah membuatku paham akan bahaya comfort zone. Dan hal ini beliau lakukan tanpa mengurangi rasa cintanya kepadaku.

Kelak saya sudah terbiasa dengan susah-susahnya hidup. Tidak mengeluh pada saat sesuatu berjalan di luar ekspektasiku. Dan pada akhirnya menghargai segala kondisi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak mengenakkan.

Menghargai Diri Sendiri

Ada sesuatu yang saya pelajari dari mama. Sepintar apapun anak tetangga, sejago apapun anak sepupu, ia tidak pernah mau membandingkannya dengan anaknya.

Mama tidak pernah memarahi diriku hanya karena si A lebih pintar. Ia tidak pernah menyalahkanku hanya karena si B juara kelas. Kendati demikian, mama juga mengharapkan anaknya untuk memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan.

Akhirnya pilihannya jatuh kepada les melukis. Karena sewaktu kecil, diriku senang menggambar. Gagal total! Ternyata saya tidak berbakat melukis. Sepupuku, Alex yang hanya ikut-ikutan justru lebih berhasil.

Apa yang terjadi? Aku diberhentikan dari les melukis, tanpa sedikitpun keluhan dan makian. Apalagi membandingkannya dengan si Alex yang bisa membuat sketsa gambar Rano Karno yang jauh lebih bagus dariku.

Menangis Boleh, Cengen Jangan

Saya ingat mama selalu memelukku saat aku menangis. Tapi tunggu dulu... Itu kalau karena terjatuh dan terluka. Tapi, kalau menangis hanya karena ingin caper, justru jeweran yang kudapat.

Suatu waktu saya pernah menangis tersedu-sedu. Hanya karena uang monopoliku habis, dan saya bangkrut. Mama punya cara unik untuk melatihku. Ia membeli kembali semua propertiku dari kakak. Mama membayarnya dengan jatah uang belanjaku.

Aku kembali menjadi "boss" dengan syarat dan konsekuensi. Jatah uang belanja untuk sejumlah hotel dan uang tunai. Mama adalah seorang pedagang. Ia tahu bagaimana melatih anaknya untuk tidak cengeng dengan menerima kenyataan.

**

Apa yang dilakukan oleh mama tidak lantas membuatku berhasil. Masih banyak proses kehidupan yang kujalani hingga jati diriku terbentuk seperti saat ini.

Saya bukanlah orang yang sempurna, tetapi paling tidak saya tahu apa arti kehidupan. Bahwa tidak semua hal yang kita inginkan bisa berjalan sesuai harapan. Bahwa segala sesuatu yang tampak ada, sebenarnya juga bisa tidak ada.

Kita adalah bentukan dari pikiran kita sendiri. Positif dan negatif adalah dua kenyataan semesta. Mereka hidup secara berdampingan. Dan tidak ada salahnya menerima kehadiran mereka, tanpa kemelakatan. Cukup disadari.

Semoga Bermanfaat

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun