Saat saya bersekolah dulu, saya termasuk murid yang beruntung. Sebabnya orangtua saya tidak memberikan target akademik yang tinggi. "Yang penting tidak merah ujiannya," demikian kata mama.
Tapi, mama justru akan sangat marah jika saya tidak mengerjakan PR. Baginya itu sudah bukan soal kemampuan akademik lagi. Tapi, attitude.
Pada saat saya dewasa, saya baru memahami cara mama mendidik saya. Awalnya saya berpikir jika mama memaklumi kebodohanku. Nyatanya tidak sedangkal itu.
Baginya, prestasi akademik seharusnya dikejar secara alami. Bukanlah dalam bentuk pemaksaan. Lalu tidak mengerjakan PR adalah dosa besar baginya. Karena itu sama seperti malas berusaha. Â Â
Kesimpulannya; mama ingin aku menjadi pribadi yang tumbuh secara alami. Yang penting berusaha, apapun hasilnya itulah yang terbaik.
Mengenalkan Bahaya Comfort Zone
Sewaktu kecil dulu, mama selalu memenuhi semua kebutuhanku. Dari makanan, pakaian, hingga mainan. Nenek protes. Katanya mama terlalu memanjakan diriku.
Tapi, mama punya prinsip sendiri, ia tidak memanjakanku. Nyatanya...
Saya tidak bisa menolak apa yang diperintahkan mama. Misalkan menjaga toko pada jam-jam tertentu. Mama tidak pernah kompromi untuk hal yang satu ini. Tidak peduli apakah aku sedang ngantuk atau lagi bermain di rumah tetangga.
Ketika dewasa, saya baru sadar bahwa apa yang dilakukan mama adalah membuatku paham akan bahaya comfort zone. Dan hal ini beliau lakukan tanpa mengurangi rasa cintanya kepadaku.
Kelak saya sudah terbiasa dengan susah-susahnya hidup. Tidak mengeluh pada saat sesuatu berjalan di luar ekspektasiku. Dan pada akhirnya menghargai segala kondisi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak mengenakkan.
Menghargai Diri Sendiri
Ada sesuatu yang saya pelajari dari mama. Sepintar apapun anak tetangga, sejago apapun anak sepupu, ia tidak pernah mau membandingkannya dengan anaknya.