Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pakto 88, Sisi Kelam di Masa Keemasan Perbankan Indonesia

9 Oktober 2022   04:17 Diperbarui: 9 Oktober 2022   05:12 795
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bank Swasta juga mendapat berkah. Bukan hanya dari pengumpulan Dana Pihak Ketiga (DPK) dan penyaluran kredit, tetapi juga Banknya sendiri.

Pada zaman itu, tidak ada konglomerat yang tidak memiliki bank. Sebutkanlah keluarga Riady (Lippo), keluarga Soeryadjaja (Summa). Juga ada Bank Dagang Negara Indonesia milik Syamsul Nursalim (bos Gajah Tunggal). Lalu Aburizal Bakrie dengan Bank Nusa Nasional.

Tidak ketinggalan Keluarga Cendana. Bambang Tri dengan Bank Andromeda, Mba Tutut punya Bank Yama, dan Tommy Soeharto hadir sebagai pemilik Bank Pesona Utama.

Dampak Pakto 88

Hingga sekarang masih sering terjadi perdebatan terhadap paket kebijakan ini. Yang kontra tentunya menuduh Pakto 88 sebagai penyebab runtuhnya ekonomi Indonesia, 10 tahun kemudian.

Namun, yang pro juga tidak mau ketinggalan kereta. Mereka berargumen, tanpa pakto 88 perbankan Indonesia tidak akan masuk ke tahap modern. Pun Indonesia juga tidak akan menikmati pertumbuhan ekonomi yang fantastis yang mewariskan pembangunan di zaman Soeharto.

Terkait kontrol yang terlihat kurang matang dan analisis risiko yang terkesan memble, perlu diketahui bahwa Indonesia sedang dalam tahap belajar. Lagipula, krisis ekonomi melanda banyak negara di Asia Tenggara, sehingga perbankan bukan satu-satunya penyebab.

Akal Bulus Pakto 88

Seoharto adalah seorang Presiden. Tentu saja kita harus melihat bahwa kebijakan yang ia ambil adalah untuk kepentingan negara. Namun, sayangnya di zaman Orde Baru kekuasaan sangat rentan dimanfaatkan oleh segelintir oknum.

Membuka bank sama seperti membuka toko. Kira-kira begitu kondisi yang terjadi. Sejatinya bank memiliki misi mulia. Meningkatkan derajat ekonomi rakyat. Akan tetapi alih-alih menjaga kepercayaan pelanggan, pemilik bank dadakan buru-buru memperkaya diri sendiri dengan menarik keuntungan yang sebesar-besarnya.

Karena ketatnya persaingan, pemberian kredit dilakukan secara ugal-ugalan. Analisis risiko yang seharusnya menjadi garda terdepan sudah tidak dipedulikan lagi. UMKM sebagai penggerak ekonomi justru tidak menikmati buah yang segar.

Ulah Para Konglomerat Kotor

Para konglomerat pemilik bank, ramai-ramai memberikan pendanaan untuk grup sendiri. Untuk "mengelabui" aturan pemerintah, dilakukanlah teknik insider lending. Alias pemberian kredit untuk kelompok usaha sendiri.

Para pemilik bank hanya mengejar cuan saja. Praktik pembiayaan dengan bunga tinggi marak terjadi. Lalu, karena tidak adanya batasan pengalokasian kredit, pasar semakin menjadi tidak sempurna. 

Kredit Macet Bertumpuk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun