Lalu saya juga ikutan menyewa sebuah kios di sana, menjual sayur kepada para pembeli buah yang sudah banyak di sana.
Lama kelamaan, semakin banyak yang tertarik. Bukan hanya pembeli buah regular saja, tetapi juga emak-emak warga setempat yang datang untuk membeli daganganku.
Meskipun saya berada di pasar yang mass market, saya sebenarnya telah berhasil membentuk ceruk pasar yang berbeda dari letak geografis. Tidak ada penjual sayur lain yang berada di wilayah sekitar. Saya yang pertama dan satu-satunya.
Contoh lainnya...
Saya adalah salah satu pemilik kios buah di Pasar Buah. Selama ini pembeli buah langgananku hanya datang dan pergi. Lalu sebuah ide baru muncul di benakku. Memanfaatkan buah-buahan yang tidak laku karena sudah hampir layu, lalu mengolahnya menjadi jus. Ternyata laku!
Lama kelamaan semakin banyak yang datang. Saya pun menyediakan tempat duduk. Dari yang awalnya hanya dua meja, kini menjadi semakin banyak. Lapak saya pun berubah menjadi kafe jus.
Saya menyasar pelanggan baru, yakni mereka yang mau duduk nongkrong. Kebanyakan adalah anak mahasiswa. Para konsumen gaya hidup. Dengan demikian, saya membentuk ceruk baru -- Niche market dari kelompok usia tertentu.
Contoh lainnya lagi...
Pasar buah sudah terkenal di seantero kota. Investor besar pun tertarik untuk menggarap pasar disitu. Alkisah sebuah perusahaan retail raksasa pun membeli tanah di sana. Dibangunlah supermarket yang menjual produk-produk segar. Termasuk buah-buahan.
Jenis buah yang ditawarkan lebih mahal dari jejeran kios buah di pinggir jalan. Tapi, dari sisi kemasan, terlihat lebih eksklusif. Toko tersebut juga menjual buah-buahan impor. Dari Kiwi Australia hingga Apel Washington.
Konsumennya terdiri dari kalangan atas. Para penggemar buah dan juga kenyamanan. Harga tidak masalah, yang penting lengkap. Toko baru itu membentuk ceruk baru, menyasar konsumen kelas atas. Dia bermain di niche market, kelompok dari strata sosial yang spesifik.
**