Ia menjamuku layaknya tamu agung. Seperangkat alat pembuat teh pun dihadirkan. Langkah pertama yang ia lakukan adalah menyodorkan sebuah mangkuk berisikan daun teh kering ke hadapan wajahku, tepat di bawah lubang hidung.Â
Dengan refleks aku langsung menggerakkan jariku. Maksudnya ingin merogoh beberapa lembar daun teh dari sana. Tapi si penjual berteriak lantang, memegang daun teh itu "haram" dalam prosesi penyajian teh.
Aku cukup menghirup harumnya aroma dari daun teh yang akan disajikan. Menyentuh daun teh akan mengurangi kemurnian dari rasa teh yang akan disajikan.
Dan memang baunya harum...
Nampan pembuatan teh (tea tray), ukurannya sebesar meja tulis portabel anak kecil. Permukannya rata dari kayu. Di atasnya terletak berbagai perlengkapan untuk keperluan menyeduh.
Si penjual lalu membilas daun teh yang masih padat. Bukan karena kotor, tetapi merangsang agar teh dapat berekstrasi dalam bentuk terbaiknya. Air bilasan tidak diminum, tetapi dibuang pada sebuah mangkuk yang khusus menampungnya.
Daun teh lalu dimasukkan ke dalam tea scoop alias alat takaran agar tidak perlu lagi ditimbang. Air panas kemudian diisi ke dalam teko, bercampur dengan daun teh. Tidak pakai lama, hanya berkisar sekitar 30 detik saja dan teh siap disajikan.
Teh pun dituangkan ke dalam cawan. Jangan lupa untuk mengetuk kedua jari secara perlahan di atas permukaan meja, di dekat cawan yang sedang dituang. Gestur ini adalah ucapan terima kasih dari tamu yang dikenal dengan "Kou Shou Li". Ada sejarahnya.
Baca juga:Â Blusukan Ghaib Soeharto dan Tradisi Kou Shou Li
Tapi, jangan langsung meminumnya meskipun kamu kehausan. Sebagai tuan rumah, si penjual teh harus mempersilahkan tamunya untuk mencicipi teh dalam cawan yang masih segar. Setelah tamu mencicipinya, barulah tuan rumah bisa mulai meminum tehnya.
Itulah bentuk peghormatan...