Erwin menjawab tuduhan yang dilayangkan kepadanya dengan mengumumkan penangguhan penerbitan edisi kedua Playboy. Alasannya demi keamanan staf pekerja terkait ancaman dan demo yang mengarah anarkis.
Ternyata status tersangka dan ancaman yang diterima Erwin tidak membuatnya jera. Tidak aman di Jakarta, ia memindahkan kantor Playboy ke Bali. Pada Juni 2006 edisi kedua pun muncul. Dicetak 100 ribu eksemplar dan dibanderol seharga 39 ribu rupiah. Model sampul adalah Amara Doriane, wanita kelahiran Prancis.
Namun, ada yang berbeda dengan edisi kedua ini. Tidak ada satu pun iklan di dalamnya. Bagian halaman yang seharusnya memuat iklan, hanya tertulis jenis iklan yang seharusnya tampil di sana, seperti produk rokok, produk minuman, dan seterusnya.
Terpasang pula sebuah tulisan yang cukup provokatif pada halaman tersebut. "Halaman ini didedikasikan kepada para klien loyal yang menerima ancaman karena memasang iklan."
Penerbitan edisi kedua dilanjutkan dengan penerbitan edisi-edisi berikutnya. Namun pihak yang anti sepertinya tidak kehabisan akal. Tidak bisa menyentuh kantor redaksi, para model sampul dan Playmate pun jadi sasaran.
Bukan hanya Erwin Arnada, tapi Andhara Early, Kartika Oktavina Gunawan, Julie Estelle, dan Fla Priscilla juga dilaporkan ke polisi oleh MAPP. Dalilnya adalah pornografi.
Pada 5 April 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas Erwin Arnada dalam perkara kesusilaan. Sementara pihak pemerintah sendiri mengatakan tidak bisa melarang terbitnya media apapun di Indonesia sejak UU Pers 40/1999 tentang kebebasan Pers berlaku.
Kendati demikian, untuk meredakan kisruh, Majalah Playboy Indonesia memutuskan untuk mengakhiri penerbitannya pada Maret 2007. Atau tidak sampai setahun sejak diterbitkan.
Keputusan pengadilan mendapatkan perlawanan. Sehari setelahnya pada 6 April 2007, Abu Bakar Ba'asyir selaku Amir Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) mengecam keputusan PN Jakarta Selatan. Lalu pada 12 April 2007, FPI melaporkan ke Komisi Yudisial atas vonis bebas Erwin Arnada oleh PN Jaksel.
Akhirnya pada 29 Juli 2009, Mahkamah Agung memenangkan tuntutan FPI dan menghukum Arnada dua tahun penjara atas dasar Tindak Pidana Kesusilaan.
Sejatinya kisruh majalah Playboy memang sangat kontroversial. Banyak yang berpendapat jika waktu penerbitannya bukan pada saat yang tepat. Tersebab bertepatan dengan maraknya pro dan kontra terhadap RUU Antipornografi dan Pornoaksi.