Awal 2000an, dunia belum dipenuhi medsos dan gawai pintar. Media televisi masih berjaya, radio masih perkasa, surat kabar ada dimana-mana. Tabloid dan majalah cetak masih menjadi pilihan utama bacaan di waktu senggang.
Bukan hanya produk klasik seperi Tempo, Bobo, atau Intisari terbitan Gramedia, tapi juga lisensi luar negeri seperti National Geographic, Cosmopolitan, dan Elle.
Pokoknya, pada masa itu media cetak adalah buah manis yang sedang ranum-ranumnya. Mendatangkan cuan yang sudah pasti.
Agen majalah adalah bisnis yang menjanjikan. Toko buku di pusat pertokoan hingga warung emperan juga tidak mau kalah. Begitu pula dengan diriku yang sempat menggeluti usaha toko buku di kota Makassar.
Saya masih ingat pada pertengahan April 2006. Seorang agen majalah datang kepadaku. Membawa sebungkus paket yang masih tersegel. "Langsung dari Jakarta, Koh."
Wajahku berseri-seri. Saya tahu isinya apa tanpa perlu membuka paket.
"Yang itu kan?" tanyaku dengan mata berbinar-binar. Si agen majalah hanya tersenyum sembari menaikkan alisnya.
Paket kubuka, dan cover warna merah menyala berada di hadapanku. Ada 6 eksemplar yang segera kususun rapih di rak majalah depan kasir. Kelihatan elegan dan mentereng.
Sedetik kemudian, saya langsung mengumpulkannya Kembali. Si agen majalah heran. "Kok gak dipajang, Koh," tanyanya.
"Gila kamu. Gua cuman mau lihat saja bagaimana jika ia terpajang di sini. Tapi, saya cukup waras untuk tidak menjualnya," imbuhku.
Sebelum si agen majalah berkomentar lebih jauh lagi, saya menjawabnya singkat. "Saya mau jadikan koleksi pribadi saja."
Itulah sekilas tentang kisah yang sedang hangat-hangatnya di zaman bapakmu. Majalah yang kumaksud adalah Playboy Indonesia.
Ini kisahnya...
Playboy Indonesia terbit perdana pada 7 April 2006. Sejatinya, majalah ini sudah menuang kontroversi jauh hari sebelum diterbitkan. Adalah beberapa ormas dan masyarakat anti pornografi yang gencar menentang.
Tapi Erwin Arnada, Pimred Playboy Indonesia tetap bersikeras dengan rencananya. Edisi pertama pun terbit, Andhara Early menjadi model sampul pertama majalah dan Kartika Oktavina Gunawan menjadi Playmate pertama dari Indonesia.
Alhasil, Erwin Arnada menuai kecaman keras. Ormas Front Pembela Islam (FPI) mendatangi kantor redaksi Playboy di Simatupang, Jakarta Selatan. Dengan unjuk rasa yang anarkis, mereka merusak Gedung AAF (Aceh Asean Fertilizer). Pemilik Gedung gerah dan meminta Playboy angkat kaki dari sana.
Koordinator FPI, Habib Alwi Usman bersikeras jika majalah Playboy harus ditarik dari pasar. Alasan utamanya karena dalam Bahasa Betawi, Playboy adalah bandot yang berarti pria yang merusak wanita dan anak-anak.
Kantor redaksi kedua berlokasi di perkantoran Fatmawati Mas, Jakarta Selatan. Di sini jauh lebih aman, karena lokasi tersebut dijaga oleh Masyarakat Betawi sekitar.
Di depannya terpajang poster yang bertuliskan, "Silahkan demo, tapi jangan anarkis." Komunitas Betawi yang menjaga di sana berkata bahwa mereka akan menjaga keamanan kompleks.
"Jika memang Playboy harus tutup, biarlah keputusannya dari pemerintah, jangan main hakim sendiri," ungkap salah satu tokoh Betawi.
Beberapa minggu setelah kejadian penyerangan FPI ke kantor Playboy, Erwin Arnada dipanggil polisi. Ia dijadikan tersangka oleh pihak Bareskrim Polri. Pihak kepolisian berkata pemanggilan Erwin terkait tuduhan yang dilayangkan kepadanya tentang pelanggaran pasal 282 KUHP Tentang Kesusilaan.
Erwin menjawab tuduhan yang dilayangkan kepadanya dengan mengumumkan penangguhan penerbitan edisi kedua Playboy. Alasannya demi keamanan staf pekerja terkait ancaman dan demo yang mengarah anarkis.
Ternyata status tersangka dan ancaman yang diterima Erwin tidak membuatnya jera. Tidak aman di Jakarta, ia memindahkan kantor Playboy ke Bali. Pada Juni 2006 edisi kedua pun muncul. Dicetak 100 ribu eksemplar dan dibanderol seharga 39 ribu rupiah. Model sampul adalah Amara Doriane, wanita kelahiran Prancis.
Namun, ada yang berbeda dengan edisi kedua ini. Tidak ada satu pun iklan di dalamnya. Bagian halaman yang seharusnya memuat iklan, hanya tertulis jenis iklan yang seharusnya tampil di sana, seperti produk rokok, produk minuman, dan seterusnya.
Terpasang pula sebuah tulisan yang cukup provokatif pada halaman tersebut. "Halaman ini didedikasikan kepada para klien loyal yang menerima ancaman karena memasang iklan."
Penerbitan edisi kedua dilanjutkan dengan penerbitan edisi-edisi berikutnya. Namun pihak yang anti sepertinya tidak kehabisan akal. Tidak bisa menyentuh kantor redaksi, para model sampul dan Playmate pun jadi sasaran.
Bukan hanya Erwin Arnada, tapi Andhara Early, Kartika Oktavina Gunawan, Julie Estelle, dan Fla Priscilla juga dilaporkan ke polisi oleh MAPP. Dalilnya adalah pornografi.
Pada 5 April 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus bebas Erwin Arnada dalam perkara kesusilaan. Sementara pihak pemerintah sendiri mengatakan tidak bisa melarang terbitnya media apapun di Indonesia sejak UU Pers 40/1999 tentang kebebasan Pers berlaku.
Kendati demikian, untuk meredakan kisruh, Majalah Playboy Indonesia memutuskan untuk mengakhiri penerbitannya pada Maret 2007. Atau tidak sampai setahun sejak diterbitkan.
Keputusan pengadilan mendapatkan perlawanan. Sehari setelahnya pada 6 April 2007, Abu Bakar Ba'asyir selaku Amir Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI) mengecam keputusan PN Jakarta Selatan. Lalu pada 12 April 2007, FPI melaporkan ke Komisi Yudisial atas vonis bebas Erwin Arnada oleh PN Jaksel.
Akhirnya pada 29 Juli 2009, Mahkamah Agung memenangkan tuntutan FPI dan menghukum Arnada dua tahun penjara atas dasar Tindak Pidana Kesusilaan.
Sejatinya kisruh majalah Playboy memang sangat kontroversial. Banyak yang berpendapat jika waktu penerbitannya bukan pada saat yang tepat. Tersebab bertepatan dengan maraknya pro dan kontra terhadap RUU Antipornografi dan Pornoaksi.
Lalu apakah majalah Playboy Indonesia memang mengandung pornografi?
Majalah induknya di Amerika memang identik dengan gaya hidup bebas. Kontennya dewasa plus model yang menantang. Playmatenya apa lagi. Ia adalah wanita terpilih yang berani tampil bugil di bagian tengah majalah.
Playboy Indonesia mengadopsi desain cover dan konsep Playmate yang lebih soft. Modelnya hanya berbusana minim. Begitu pula kontennya. Menurut Erwin Ananda, 70% adalah konten lokal yang lebih "ramah lingkungan."
Bahkan pada edisi pertama, salah satu bagiannya berisikan wawancara legendaris kepada Pramoedya Ananta Toer. Itu merupakan wawancara terakhir kepada Sang Maestro. Dilakukan tiga minggu sebelum beliau wafat.
Namun begitu, Playboy tetap saja adalah Playboy. Penjenamaannya sudah terlanjur melekat kepada urusan selangkangan. Mau diapakan juga Playboy sudah mewarisi dosa abadi.
Syahdan urusan selangkangan tersebut tidak berakhir sampai di kantor redaksi Playboy. Di tengah kontroversi yang mencuat, rumah Inul Daratista didatangi puluhan massa yang berdemonstrasi. Hanya karena penyanyi yang dikenal dengan goyangan bornya itu menyatakan kesediaannya muncul di sampul Playboy
Di Jawa tengah, FPI melakukan penyisiran pada penjual koran. Bukan hanya majalah Playboy, tetapi juga majalah dan tabloid yang berorientasi dewasa. Bukannya hilang di pasaran, pasar-pasar gelap justru menjajakan majalah tersebut dengan harga di atas banderol. Sungguh miris, barang yang seharusnya legal diperdagangkan dengan cara illegal.
Di Depok, polisi mengambil alih. Dampaknya lebih luas lagi, bukan hanya majalah, tetapi juga peredaran VCD dan DVD illegal.
Namun, tidak semua wilayah di Indonesia berdampak sama. Di Bali pastinya bisa diterima, kantor redaksi Playboy di sana aman-aman saja. Di daerah Maluku majalah ini ramai dicari. Bukan hanya kaum bapak-bapak, tetapi juga ibu dan anak-anak. Mereka penasaran dengan isi dari majalah yang ramai diberitakan.
Dari sisi hukum, tidak semua pihak juga yang menentang keberadaan Playboy Indonesia. Dewan Pers sepakat jika putusan MA adalah bagian dari kriminalisasi Pers. Menurut mereka, seharusnya masih ada upaya hukum yang bisa ditempuh oleh Erwin Arnada.
Kontroversi majalah Playboy tidak hanya di ranah hukum dan politik, tetapi juga di kalangan penggemarnya. Bagi para penggemarnya, majalah Playboy tidak sesuai dengan yang diharapkan. Mereka berharap jika konten-kontennya bisa seprovokatif induknya di Amerika. Â
Sementara pihak yang menentang tidak begitu saja percaya dengan kepolosan Playboy. Hanya masalah waktu hingga mereka akan tampil "bugil."
Demikianlah sepenggal kisah dari masa lalu tentang majalah Playboy Indonesia. Playboy mungkin tinggal kenangan, tetapi hingga kini urusan selangkangan masih tetap eksis.
Bahkan dampaknya lebih luas lagi, menyentuh segala lini mayarakat. Setelah dipikir-pikir, ancaman Playboy yang dikhwatirkan oleh sebagian masyarakat pada saat itu, kini tidak lagi berarti jika dibandingkan dengan apa berada pada setiap gawai pintar yang dimiliki.Â
**
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H