Dengan strategi ini, Indofood seolah-olah melawan dua armada pasukan yang berbeda, padahal mereka dari perusahaan yang sama.
Biaya iklan juga tidak main-main. Di masa sebelum medsos, belanja iklan televisi Mie Sedaap termasuk salah satu yang terbesar. Di tingkat grosir dan eceran, promo dan hadiah membanjiri para pedagang.
Konon kabarnya, Wings sampai membeli pabrik piring untuk mendukung langkah promosinya.
Warung-warung di pinggir jalan pun tidak luput dari serangan. Harga yang lebih murah menjadi senjata. Meskipun hanya beda sedikit, tapi pemilik warung adalah pelaku usaha yang sangat sensitif terhadap harga. Sekali lagi, Wingsfood menyadari hal-hal yang selama ini tidak disadari oleh Indomie.
Dari Leader menjadi Follower
Indofood panik, dalam waktu yang relatif singkat, pasar mereka tergerus demikian besarnya. Mereka pun membentuk "pasukan-pasukan khusus" untuk meggempur Mie Sedaap.
Dari Mie Sayap, Sarimie Ekstra, hingga puluhan merek lainnya. Tapi, semakin banyak varian merek, pasar Indomie semakin tergerus.
Lama kelamaan, Grup Salim ini baru menyadari kesalahannya. Kehadiran banyak merek malah membuat nama Indomie semakin terlupakan. Bahkan Supermie Sedaaap (dengan tiga huruf "a") justru menaikkan pamor Mie Sedaap yang sudah duluan hadir.
Para ahli pemasaran mengamati, jika konsumen bisa beralih ke merek lain, maka mereka berpotensi juga untuk beralih ke Mie Sedaap. Indofood menggali kuburannya sendiri, mengedukasi pelanggannya untuk "berselingkuh."
Itulah mengapa hingga kini kita seringkali melihat Indomie dengan rasa-rasa lokalnya. Mereka tidak mau kecolongan pasar lagi sampai dua kali.
Sejarah pertempuran dua raksasa ini menjadi alasan yang kuat -- harga mi instan tidak akan dinaikkan secara gegabah, meskipun harga gandum dunia meroket.