**
Entah apa yang muncul di benak Chiang Kai Shek, seandainya dia masih hidup sekarang. Menurutnya, ia telah melakukan yang terbaik bagi Taiwan. Namun patung setinggi 6,3 meter itu dianggap sebagai simbol terbesar kediktatoran Taiwan.
Untungnya Partai Nasionalis China (KMT) berpendapat lain. Menurut mereka, menyingkirkan patung Chiang adalah upaya menghancurkan warisan sejarah.
Angel Hung, juru bicara KMT mengungkapkan jika pemindahan patung akan menimbulkan perpecahan di masyarakat. Menghilangkan patung tidak berarti terwujudnya rekonsiliasi. Bagaimana masyarakat Taiwan menerima kenyataan dan belajar memaafkan adalah hal yang utama dan terutama.
Belajar dari RRC. Sejarah telah mencatat jika Mao Dze Tong juga adalah seorang pemimpin otoriter. Dampak kerusakan dan pemberangusan selama revolusi kebudayaan mungkin jumlahya jauh lebih besar dari apa yang telah dilakukan oleh Chiang Kai Shek.
Namun, hingga hari ini foto Mao masih bertenger di depan gedung Tian An-men. Rakyat masih menghormatinya dan menganggapnya sebagai bagian dari sejarah besar China.
Dari sini kita bisa belajar, bahwa setiap pemimpin pasti memiliki kelemahan. Tapi, adalah kesalahan besar bagi rakyat jika tidak menghargai sejarah.
Pemimpin bangsa bukan untuk dihujat, tapi untuk dijadikan kenyataan bahwa sejarah sebuah negara tidak akan terlepas dari warna hitam putih.
Di tengah kegelapan ada setitik harapan, di antara kegemerlapan ada seruam kekelaman.
Ah, jadi ingat kata-kata Soekarno;
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."