Chiang masih optimis jika ia dapat mengalahkan kaum Komunis. Dari sisi kekuatan militer, ia menang jumlah.
Tapi, Chiang lupa suatu hal mendasar. Perang melawan Jepang selama 14 tahun telah menghabiskan banyak sumber daya. Tercatat 80.000 prajurit China terluka atau terbunuh. Dan sekitar 90% darinya adalah pasukan Chiang.
Chiang memang adalah sosok otoriter yang keras kepala. Dalam buku diari-nya, ia menyalahkan para Jenderal lapangannya yang tidak kompeten. Baginya kekalahan-kekalahan di lapangan adalah hal yang tidak seharusnya terjadi.
Kendati demikian, Chiang sadar akan kelemahannya. Ia mengatakan jika praktik korupsi adalah virus utama yang membuat pasukannya kalah.
Dalam buku The Abortive Revolution: China Uder Nasionalist Rule, Chiang berkata jika praktik korupsi di kalangan pejabat pemerintahan telah membuat pemerintahannya menjadi busuk.
Sementara Mao Dze Tong dengan cara cerdas, berhasil memenangkan hati rakyat China, terutama kaum petani dan buruh. Pertempuran di antara dua kubu tidak hanya melibatkan militer saja. Perang gerilya juga melibatkan rakyat sipil yang mendukung komunisme.
Penyebabnya? Tiada lain karena China di bawah kepemimpinan Chiang Kai Shek adalah pemerintahan yang buruk.
Chiang baru mulai menyadari kekalahannya ketika pasukannya kalah dalam pertempuran Jinzhou. Di tengah pelariannya ke Taiwan, Chiang berkata jika "China sudah mati."
Walaupun demikian, Chiang tetap bangga dengan dirinya. Ia berkata selama memimpin China, tak sehari pun ia "tidur."
Chiang mengklaim jika diriya telah berjuang melawan Jepang, membangun jalur kereta api, bendungan, dan infrastruktur lainnya.
Akhir kata Chiang berkata "Kita harus memiliki pencapaian, tidak peduli apapun keadaannya. Saya Tidak pernah merasa bersalah, saya telah mencoba yang terbaik."