Setelah mengulik krisis politik antara China dan Taiwan, saya lalu melihat ke belakang. Masih banyak pertanyaan yang mengambang di kepalaku. Salah satunya adalah tentang mengapa Partai Komunis bisa begitu berjaya di sana? Padahal Dr. Sun Yat Sen, pendiri China modern adalah seorang nasionalis sejati.
Pertanyaan ini lalu kubawa ke meja makan. Papa lantas mengarahkan "telunjuknya" kepada sesosok figur. Chiang Kai Shek.
Awalnya pikiran kritis ini menolak "tuduhan" papa. Sebabnya jelas, pecundang dalam sebuah konflik selalu menjadi orang jahat. Tapi, jika kisahnya ditelisik lebih dalam lagi, papa (mungkin) juga ada benarnya.
Apa yang terjadi pada hari ini di Kawasan perbatasan China-Taiwan adalah bagian dari sejarah panjang. Kedua wilayah ini telah bersiteru sejak Taiwan telah menyatakan berpisah dari negeri leluhurnya (1949). Sekitar 1,5 juta manusia dari Partai Nasionalis China (KMT) berpindah ke pulau Formosa dan melanjutkan pemerintahan ROC di sana.
Saat itu, Chiang Kai Shek menjadi presiden pertama ROC Taiwan. Ia bisa dikatakan sebagai pendiri negara. Untuk menghormati jasanya, sebuah patung raksasa pun didirikan baginya.
Namun, apa yang terjadi?
Sebuah komisi tingkat kabinet di Taiwan telah mengusulkan agar patung raksasa tersebut disingkirkan. Para pengecam mengatakan bahwa Chiang Kai Shek adalah bagian dari masa lalu Taiwan yang kelam.
Sebelum Chiang dan ROC menjadikan Taiwan sebagai basis pemerintahannya, pada tahun 1947 lebih dari 18.000 warga sipil dibantai. Sebuah peristiwa yang dikenal dengan nama "Teror Putih."
Pun selama menjadi pemimpin, Chiang dikenal sebagai sosok otoriter yang membangun negara dengan tangan besi. Hanya satu parpol yang diizinkan, banyak pelanggaran HAM, dan dia mencampuri urusan peradilan. Negara dijadikannya alat untuk memberantas musuh-musuh politiknya.
Barulah pada saat Chiang Kai Shek meninggal (1975), secara perlahan menjadikan Taiwan sebagai negara demokratis. Adalah Chiang Ching Kuo, putra sang diktator, pengganti posisi ayahnya yang berjasa.
Apa sebenarnya yang terjadi?
Chiang Kai Shek memulai perjuangannya ketika ia lulus dari Akademi Militer Paoting pada 1911. Ia tergugah untuk berjuang setelah mendengar kabar kemunculan gerakan Revolusi China.
Setelah Dinasti Qing terguling, perjuangannya berlanjut menumpas Yuan Shi Kai yang memproklamasikan dirinya sebagai Kaisar Baru China.
Pada 1918, Chiang Kai Shek bergabung dengan KMT. Ia medapat tugas memimpin Sekolah Militer Whampoa. Di sana Chiang membangun kekuatannya. Tentara Nasionalis China yang menjadi basis kekuatan pendukung kekuasaan Chiang selanjutnya.
Dr. Sun Yat sen wafat pada 1925. Chiang pun terpilih menjadi pemimpin KMT. Jabatannya adalah Ketua Dewan Militer Nasional ROC.
Pada saat itu, China tengah menghadapi situasi yang kacau. Dari luar, mereka harus menghadapi invasi Jepang. Dari dalam negeri rakyat masih terpecah akibat kemunculan para warlord lokal di berbagai tempat.
Alih-alih menghadapi musuh bersama, Chiang Kai Shek justru menjadikan Partai Komunis China sebagai musuh utama. Itu karena terdengar kabar jika PKC berniat menyingkirkan dirinya.
Pada 1927, atas perintah Chiang Kai Shek, dibentuklah Komite Pengawas KMT. Kaum Komunis pun dikeluarkan dari KMT. Dan bukan hanya itu saja. Gerakan Pembasmian Shanghai pun dicetuskan sebagai aksi selanjutnya.
Pembasmian dilakukan dengan cara yang sadis. KMT memburu dan membunuh ratusan komunis dengan cara yang sadis. Menurut Chen Li Fu, sekretaris Chiang saat itu, "banyak orang tidak berdosa yang ikut terbunuh."
Syahdan Perang Sipil pun dimulai. Lalu pada 1937, China menghadapi krisis invasi Jepang. Kaum Nasionalis dan PKC setuju untuk melakukan gencatan senjata. Menjadikan Jepang sebagai musuh bersama.
Setelah Jepang kalah Perang Dunia II 1945, negosiasi pun dimulai di antara kedua kubu. Usulannya adalah pembentukan pemerintahan koalisi. Namun, Chiang yang otoriter menolak proporsal tersebut. Merasa memiliki kekuatan, perundingan pun batal. Perang sipil kembali berlanjut.
Chiang masih optimis jika ia dapat mengalahkan kaum Komunis. Dari sisi kekuatan militer, ia menang jumlah.
Tapi, Chiang lupa suatu hal mendasar. Perang melawan Jepang selama 14 tahun telah menghabiskan banyak sumber daya. Tercatat 80.000 prajurit China terluka atau terbunuh. Dan sekitar 90% darinya adalah pasukan Chiang.
Chiang memang adalah sosok otoriter yang keras kepala. Dalam buku diari-nya, ia menyalahkan para Jenderal lapangannya yang tidak kompeten. Baginya kekalahan-kekalahan di lapangan adalah hal yang tidak seharusnya terjadi.
Kendati demikian, Chiang sadar akan kelemahannya. Ia mengatakan jika praktik korupsi adalah virus utama yang membuat pasukannya kalah.
Dalam buku The Abortive Revolution: China Uder Nasionalist Rule, Chiang berkata jika praktik korupsi di kalangan pejabat pemerintahan telah membuat pemerintahannya menjadi busuk.
Sementara Mao Dze Tong dengan cara cerdas, berhasil memenangkan hati rakyat China, terutama kaum petani dan buruh. Pertempuran di antara dua kubu tidak hanya melibatkan militer saja. Perang gerilya juga melibatkan rakyat sipil yang mendukung komunisme.
Penyebabnya? Tiada lain karena China di bawah kepemimpinan Chiang Kai Shek adalah pemerintahan yang buruk.
Chiang baru mulai menyadari kekalahannya ketika pasukannya kalah dalam pertempuran Jinzhou. Di tengah pelariannya ke Taiwan, Chiang berkata jika "China sudah mati."
Walaupun demikian, Chiang tetap bangga dengan dirinya. Ia berkata selama memimpin China, tak sehari pun ia "tidur."
Chiang mengklaim jika diriya telah berjuang melawan Jepang, membangun jalur kereta api, bendungan, dan infrastruktur lainnya.
Akhir kata Chiang berkata "Kita harus memiliki pencapaian, tidak peduli apapun keadaannya. Saya Tidak pernah merasa bersalah, saya telah mencoba yang terbaik."
**
Entah apa yang muncul di benak Chiang Kai Shek, seandainya dia masih hidup sekarang. Menurutnya, ia telah melakukan yang terbaik bagi Taiwan. Namun patung setinggi 6,3 meter itu dianggap sebagai simbol terbesar kediktatoran Taiwan.
Untungnya Partai Nasionalis China (KMT) berpendapat lain. Menurut mereka, menyingkirkan patung Chiang adalah upaya menghancurkan warisan sejarah.
Angel Hung, juru bicara KMT mengungkapkan jika pemindahan patung akan menimbulkan perpecahan di masyarakat. Menghilangkan patung tidak berarti terwujudnya rekonsiliasi. Bagaimana masyarakat Taiwan menerima kenyataan dan belajar memaafkan adalah hal yang utama dan terutama.
Belajar dari RRC. Sejarah telah mencatat jika Mao Dze Tong juga adalah seorang pemimpin otoriter. Dampak kerusakan dan pemberangusan selama revolusi kebudayaan mungkin jumlahya jauh lebih besar dari apa yang telah dilakukan oleh Chiang Kai Shek.
Namun, hingga hari ini foto Mao masih bertenger di depan gedung Tian An-men. Rakyat masih menghormatinya dan menganggapnya sebagai bagian dari sejarah besar China.
Dari sini kita bisa belajar, bahwa setiap pemimpin pasti memiliki kelemahan. Tapi, adalah kesalahan besar bagi rakyat jika tidak menghargai sejarah.
Pemimpin bangsa bukan untuk dihujat, tapi untuk dijadikan kenyataan bahwa sejarah sebuah negara tidak akan terlepas dari warna hitam putih.
Di tengah kegelapan ada setitik harapan, di antara kegemerlapan ada seruam kekelaman.
Ah, jadi ingat kata-kata Soekarno;
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya."
Semoga Indonesia seperti itu. Semoga Indonesia akan selalu mengingat jasa pemimpinya.
Semoga besar bangsaku. Semoga kuat negaraku.
Dirgahayu RI yang ke-77
Jayalah Negeriku.
**
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H