Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebelum Kepak Sayap Suci, Ada Buddha Bar, Umat Buddha Meradang

30 Juni 2022   06:16 Diperbarui: 30 Juni 2022   07:28 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelum Kepak Sayap Suci, Ada Buddha Bar, Umat Buddha Emosi (gambar: youtube.com)

Bagaimana bisa tidak disebut sebagai penistaan agama. Siapa pun tahu jika Muhammad adalah nama yang paling sakral bagi umat muslim. Begitu pula dengan nama Maria. Lobus frontal akan dengan cepat mengidentifikasikannya sebagai Bunda Maria.

Tidak heran jika umat Muslim dan Kristiani meradang. Sebabnya kedua nama tersebut dijadikan sebagai media promosi untuk mendapatkan minum beralkohol gratis.

Lalu kasus pun melebar. Pemprov DKI turun tangan. Melakukan sidak tempat-tempat hiburan malam yang tidak memiliki izin. Salah satunya Holywings. Sayap suci yang memprakarsai promosi "Muhammad dan Maria."

Enam orang sudah jadi tersangka. Mereka dijerat dengan pasal penistaan agama dan ujaran kebencian.

Sejatinya kasus Muhammad dan Maria di Holywings bukanlah yang pertama. Sekitar 12 tahun yang lalu ada juga polemik Buddha Bar. Sebuah tempat yang mirip vihara. Ada patung Buddha di dalamnya.

Tapi kemiripan itu hanya sebatas patung dan nama saja. Yang pasti, tarian erotis dan miras jelas tidak ada di dalam vihara. Bagi umat Buddha Indonesia, konsep ini benar-benar mengolok-olok kesakralan agama Buddha.

Sejak dibuka pada 2008, kehadiran bar dan restoran asal Prancis itu bukannya tanpa kritik. Forum Anti Buddha Bar (FABB) sudah memprotes keberadaannya.

Sekitar 2000 umat Buddha melakukan long march dari kedutaan Prancis menuju ke Menteng, lokasi Restoran Buddha Bar. Sempat juga terjadi aksi anarkis. Untungnya ada aparat kepolisian yang berjaga di sana.

Setelah 20 bulan dengan melalui berbagai upaya, akhirnya PT. Nireta Vista Creative menutup Buddha Bar dan menggantikannya dengan nama baru, Bistro Boulevard.

Seluruh ornamen keagamaan dihilangkan. Dan patung Buddha bermeditasi pun disumbangkan ke sebuah vihara di Jawa Tengah.

Buddha Bar telah tamat riwayatnya di Indonesia. Tidak ada lagi yang mempermasalahkannya. Tapi tidak di belahan lain bumi ini. Sejak pertama kali didirikan di Paris pada 1996, Buddha Bar dengan cepat menjadi magnet bagi para pencinta hiburan.

Kini Buddha Bar dan segala turunannya (lounge, hotel, dan restoran) telah berada di sedikitnya 20 negara di dunia. Kebanyakan di Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Di Asia sendiri, Filipina adalah salah satunya.

Selain cabang waralaba resmi dari Prancis ini, penggunaan nama Buddha sebagai embel-embel usaha juga banyak digunakan. Seperti di Thailand ada Budda Bar (tanpa huruf "h") dan Buddha and Pals Cafe and Jazz.

Bukan hanya nama Buddha saja. Franchise ini juga menggunakan turunan dari ajaran Buddha untuk nama lini usahanya. Seperti Siddharta Lounge dan Karma Cafe.

Salah satu pendiri Buddha Bar adalah Claude Challe. Ia adalah seorang interior desainer dan juga DJ. Tidak heran jika pada platform musik di dunia maya, Anda dengan mudah menemukan musik-musik kompilasi Buddha Bar.

Secara umum, Buddha Bar memang identik dengan konsep Buddhisme. Patung Buddha berbagai ukuran menjadi ornamen resminya. Konsep yang ditawarkan adalah tempat hang-out bernuansa "sakral."  

Apakah ada protes dari masyarakat Buddha internasional? Dari beberapa sumber yang saya ulik, disebutkan jika Buddha Bar mendapatkan perlawanan dari kaum Buddhis konservatif. Dan kejadiannya itu di Indonesia, negara yang mereka sebut sebagai tempat berkumpulnya kaum Buddhis fanatik. (Garuk-garuk kepala).

Sejujurnya saya tercengang. Umat Buddha di Indonesia disebut sebagai kaum fanatik. Tapi, kalau dipikir mungkin ada benarnya juga. Sebabnya Thailand yang penduduknya mayoritas Buddhis sendiri tidak keberatan nama Buddha dijadikan merek tempat hiburan malam.

Perilaku intoleran muncul dalam benak saya. Tapi, dalam kasus Buddha Bar siapa sih yang intoleran? FABB menganggap jika pihak waralaba tidak menghormati agama Buddha. Sementara si pemilik restoran tidak merasa seperti itu.

Jadi apakah Buddha Bar yang tidak toleran. Atau jangan-jangan sebaliknya, FABB sebenarnya yang tidak toleran? Melarang hak berekspresi masyarakat. Entahlah, saya berhenti saja, tidak mau digebukin.

Memang sebagai umat Buddha, kita sangat disarankan untuk selalu menjaga pikiran baik di hadapan tempat-tempat suci bernuansa Buddhis. Seperti di dalam vihara, kelenteng, atau di depan arca Buddha.

Tapi itu bukan berarti kita tidak bisa berpikiran suci tanpa kehadiran patung Buddha. Pikiran adalah produk karma. Dan karma berasal dari diri sendiri. Kasarnya, faktor eksternal tidak akan mempengaruhi apapun niatmu jika kamu berkehendak untuk menjaga pikiran.

Saya jadi teringat akan kisah Ajahn Brahm. Suatu waktu ia ditanya oleh media Australia terkait kasus tentara Amerika yang melecehkan salah satu kitab suci agama lain.

"Apa yang akan Anda lakukan bila seseorang membuang kitab suci Agama Buddha ke toilet?"

Ajahn Brahm menjawab, "panggil tukang ledeng untuk mengeluarkannya, agar toilet tidak buntu."

Ajahn Brahm lalu melanjutkan, "Siapapun bisa melenyapkan patung Buddha, membakar vihara, membunuh para Bhikkhu. Mereka akan menghancurkan semua hal yang berbau Buddhis, tetapi saya tidak akan membiarkan mereka untuk membuang ajaran Buddha."

"Saya tidak akan membuat mereka untuk menghancurkan kedamaian, membakar welas asih, atau membunuh sikap memaafkan."

"Buku, patung, bangunan, bahkan pemuka agama bukanlah agama. Semuanya hanya balutan. Esensi sebenarnya dari agama adalah nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya."

Jadi, dengan adanya kasus Buddha Bar, saya rasa umat Buddha Indonesia masih harus banyak belajar banyak. Bukan berarti saya tidak menghormati arca Buddha, mengizinkannya disandingkan dengan para penari erotis. Saya juga tidak berkata jika umat Buddha Indonesia imamnya tidak kuat. Tidak seperti itu sobat.

Bagi saya, sebagai umat Buddha yang baik, maka jangan pernah berhenti berlatih untuk meningkatkan kualitas diri. Setiap saat sadar dan sadar setiap saat.

Benar gak sih. Eh...

**

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun