Buddha Bar telah tamat riwayatnya di Indonesia. Tidak ada lagi yang mempermasalahkannya. Tapi tidak di belahan lain bumi ini. Sejak pertama kali didirikan di Paris pada 1996, Buddha Bar dengan cepat menjadi magnet bagi para pencinta hiburan.
Kini Buddha Bar dan segala turunannya (lounge, hotel, dan restoran) telah berada di sedikitnya 20 negara di dunia. Kebanyakan di Eropa, Amerika, dan Timur Tengah. Di Asia sendiri, Filipina adalah salah satunya.
Selain cabang waralaba resmi dari Prancis ini, penggunaan nama Buddha sebagai embel-embel usaha juga banyak digunakan. Seperti di Thailand ada Budda Bar (tanpa huruf "h") dan Buddha and Pals Cafe and Jazz.
Bukan hanya nama Buddha saja. Franchise ini juga menggunakan turunan dari ajaran Buddha untuk nama lini usahanya. Seperti Siddharta Lounge dan Karma Cafe.
Salah satu pendiri Buddha Bar adalah Claude Challe. Ia adalah seorang interior desainer dan juga DJ. Tidak heran jika pada platform musik di dunia maya, Anda dengan mudah menemukan musik-musik kompilasi Buddha Bar.
Secara umum, Buddha Bar memang identik dengan konsep Buddhisme. Patung Buddha berbagai ukuran menjadi ornamen resminya. Konsep yang ditawarkan adalah tempat hang-out bernuansa "sakral." Â
Apakah ada protes dari masyarakat Buddha internasional? Dari beberapa sumber yang saya ulik, disebutkan jika Buddha Bar mendapatkan perlawanan dari kaum Buddhis konservatif. Dan kejadiannya itu di Indonesia, negara yang mereka sebut sebagai tempat berkumpulnya kaum Buddhis fanatik. (Garuk-garuk kepala).
Sejujurnya saya tercengang. Umat Buddha di Indonesia disebut sebagai kaum fanatik. Tapi, kalau dipikir mungkin ada benarnya juga. Sebabnya Thailand yang penduduknya mayoritas Buddhis sendiri tidak keberatan nama Buddha dijadikan merek tempat hiburan malam.
Perilaku intoleran muncul dalam benak saya. Tapi, dalam kasus Buddha Bar siapa sih yang intoleran? FABB menganggap jika pihak waralaba tidak menghormati agama Buddha. Sementara si pemilik restoran tidak merasa seperti itu.
Jadi apakah Buddha Bar yang tidak toleran. Atau jangan-jangan sebaliknya, FABB sebenarnya yang tidak toleran? Melarang hak berekspresi masyarakat. Entahlah, saya berhenti saja, tidak mau digebukin.
Memang sebagai umat Buddha, kita sangat disarankan untuk selalu menjaga pikiran baik di hadapan tempat-tempat suci bernuansa Buddhis. Seperti di dalam vihara, kelenteng, atau di depan arca Buddha.