Tapi itu bukan berarti kita tidak bisa berpikiran suci tanpa kehadiran patung Buddha. Pikiran adalah produk karma. Dan karma berasal dari diri sendiri. Kasarnya, faktor eksternal tidak akan mempengaruhi apapun niatmu jika kamu berkehendak untuk menjaga pikiran.
Saya jadi teringat akan kisah Ajahn Brahm. Suatu waktu ia ditanya oleh media Australia terkait kasus tentara Amerika yang melecehkan salah satu kitab suci agama lain.
"Apa yang akan Anda lakukan bila seseorang membuang kitab suci Agama Buddha ke toilet?"
Ajahn Brahm menjawab, "panggil tukang ledeng untuk mengeluarkannya, agar toilet tidak buntu."
Ajahn Brahm lalu melanjutkan, "Siapapun bisa melenyapkan patung Buddha, membakar vihara, membunuh para Bhikkhu. Mereka akan menghancurkan semua hal yang berbau Buddhis, tetapi saya tidak akan membiarkan mereka untuk membuang ajaran Buddha."
"Saya tidak akan membuat mereka untuk menghancurkan kedamaian, membakar welas asih, atau membunuh sikap memaafkan."
"Buku, patung, bangunan, bahkan pemuka agama bukanlah agama. Semuanya hanya balutan. Esensi sebenarnya dari agama adalah nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya."
Jadi, dengan adanya kasus Buddha Bar, saya rasa umat Buddha Indonesia masih harus banyak belajar banyak. Bukan berarti saya tidak menghormati arca Buddha, mengizinkannya disandingkan dengan para penari erotis. Saya juga tidak berkata jika umat Buddha Indonesia imamnya tidak kuat. Tidak seperti itu sobat.
Bagi saya, sebagai umat Buddha yang baik, maka jangan pernah berhenti berlatih untuk meningkatkan kualitas diri. Setiap saat sadar dan sadar setiap saat.
Benar gak sih. Eh...
**