Tentu saja kamu, kamu, dan kamu sudah pernah mendengarkan istilah culture shock. Itu lho, jika kamu pindah ke negara lain dan kamu kaget dengan kebiasaan orang setempat.
Begitu pula dengan adikku, Rika. Sejak kuliah di Amerika pada 1994 silam, ia memutuskan untuk menetap di sana. Menikah dengan bule pula.
Tapi, ketika ia pulang kembali ke Indonesia untuk pertama kalinya sejak menikah, bukanlah dirinya yang mengalami culture shock, tapi Andrew suaminya.
Khususnya saat berkendara. Sebagai mantan pemegang SIM di Amerika, saya tentu bisa memaklumi perbedaan adab berkendara di sana dan di sini. Namun yang membuatku bingung adalah bagaimana menjelaskan adat berkendara bangsaku.
Namun, sebelum kisah ini kulanjutkan, perlu disampaikan jika semua pembicaraanku dalam bahasa Inggris yang ditulis dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan pembacaan.
Jadi, ketika Andrew mulai menampakkan wajahnya yang berkerut, diriku memulai dengan sebuah disklaimer.
"Kamu perlu paham Andrew, orang Indonesia adalah manusia yang memegang tinggi budaya. Ada semacam kearifan lokal di sini, termasuk cara mereka berkendara," aku memulai percakapan pada hari itu.
Andrew tampak mulai tenang duduk disampingku yang menyetir mobil. Tapi, hanya sesaat ketika ia melihat beberapa pejalan kaki menggunakan helm.
"Mengapa mereka tidak melepas helm pada saat berjalan kaki?" Andrew bertanya.
"Iya, kami kan sangat memedulikan keselamatan. Pejalan kaki pun bisa kecelakaan," jawabku.