Kasus Ghassem mungkin hanya salah satu yang mencuat di antara banyak lainnya. Keberadaan intelijen asing yang berseliweran di Indonesia bukanlah isapan jempol semata.
Hal ini bahkan diakui oleh Fauka Noor Farid, mantan Komandan BAIS TNI. Dikutip dari sumber [5], Fauka berkata jika ada agen rahasia Korea Utara yang beroperasi di Indonesia.
Mereka bergaul dengan masyarakat setempat, bahkan menjadi pengusaha restoran di Indonesia. Tidak ada penjelasan mengenai informasi yang disasar, atau tujuan yang ingin dicapai. Tapi, yang jelas mereka ada.
Lalu, ada juga perekrutan agen rahasia. Mereka adalah orang Indonesia yang "dibayar" untuk menyuplai informasi penting. Salah satu kasus yang menghebohkan terjadi pada 1980an.
Saat itu, salah satu Letkol TNI AU direkrut oleh Soviet untuk memberikan data peta laut Indonesia. Informasi ini penting, mengingat teknologi zaman dulu tidak secanggih saat ini.
Dan tentunya berbahaya, karena saat itu Indonesia lebih pro ke blok Barat. Soviet adalah negara adidaya yang berpaham komunis. Untungnya aksi spionase tersebut berhasil digagalkan, dan info penting tidak berhasil direbut.
Perekrutan pun dilakukan secara masif. Siapa saja bisa menjadi agen rahasia. Dan kadang tanpa mereka sadari. Salah satu contoh masih menurut Menurut As'ad Said Ali, "NGO dan wartawan kadang menjadi direkrut untuk menjadi agen rahasia tidak resmi."
"Polanya lebih terbuka, modusnya adalah "memaksa" orang kita untuk mengikuti pola pikir negara perekrut," ujar As'ad dikutip dari sumber [3].
Lebih lanjut As'ad mengatakan, selama tidak membahayakan keamanan negara dan keutuhan NKRI, maka pola terbuka seperti itu tidak terlalu menjadi kekhwatiran.
Terlebih lagi jika ideologi yang ditanamkan atas dasar kepentingan dua negara bersahabat. Seperti persoalan lingkungan hidup, hak perlindungan anak, atau hak kekayaan intelektual.
Lalu, adakah operasi intelijen asing yang berbahaya bagi Indonesia?