Kantor kedutaan sebuah negara adalah markas intelijen asing resmi. Menurut As'ad Said Ali, Wakil Kepala BIN Era Megawati yang dikutip dari sumber [3], "perwakilan resmi Indonesia di negara lain juga melaporkan ke BIN."
Jadi, kerja sama intelijen tidak melulu rahasia, resmi terbuka. Apalagi jika informasi intelijen itu untuk kepentingan bersama negara.
Misalkan untuk memerangi pengaruh ideologi radikal, aksi teroris, atau gerakan kontra produktif lainnya, seperti penyelundupan, narkoba, atau perdagangan manusia antar negara.
Kendati demikian, setiap negara juga harus waspada. Sebabnya ada batasan informasi tertentu yang tidak perlu bocor sampai ke negara lain.
Informasi semacam ini terkadang bukan ancaman terhadap negara lain, ia hanya merupakan strategi internal sebuah negara untuk memproteksi dirinya. Seperti kebijakan undang-undang militer, seandainya negara kita terlibat konflik dengan negara lain.
Namun, bagi beberapa negara, kekepoan itu penting. Mana tahu ada satu-dua informasi yang berguna bagi mereka untuk menentukan kebijakan tambahan.
Di sini muncullah istilah agen rahasia, atau agen intelijen asing yang keberadannya tidak resmi, tidak diketahui oleh negara tempatnya beroperasi.
Apakah ada di Indonesia?
Mengutip dari sumber [2], pada akhir Mei 2021, ada seorang pria bernama Ghassem Saberi Gilchalan (49) ditangkap di Bandara Udara Soekarno-Hatta. Pria tersebut masuk ke Indonesia dengan paspor Bulgaria.
Namun, petugas yang menangkapnya juga menemukan paspor Iran yang masih berlaku hingga 2023. Selain itu ada juga benda mencurigakan lainnya, seperti kartu identitas polisi Diraja Malaysia, dan sebelas unit telpon genggam.
Meskipun tidak mengaku, tapi penggunaan paspor palsu cukup menjeratnya dengan 100 juta rupiah dan kurungan dua tahun.