Tiada reaksi balasan yang didapatkan oleh si saudagar. Sang guru hanya duduk terdiam sambil tersenyum. Merasa belum puas, si saudagar kembali berujar.
"Aku melihatmu seperti seekor babi, kamu melihatku seperti apa?"
Barulah si guru menjawab tenang; "Aku melihatmu laksana malaikat. Engkau baik hati, penuh pengertian, dan senang menolong."
Mendapat jawaban yang tidak disangka-sangka, sang saudagar merasa dilecehkan. Tapi, ia tidak bisa melanjutkan amarahnya, karena sang guru tidak membalasnya dengan kemarahan.
Ia pun pergi meninggalkan rumah sang guru sambil tetap bersungut-sungut.
Sepeninggal si saudagar, murid-murid sang guru lantas bertanya;
"Wahai guru, ia menghinamu seperti seekor babi, namun dirimu tiada memberikan reaksi. Bahkan engkau memujinya laksana malaikat, apakah yang terjadi?"
Sang guru lalu mengelus janggutnya yang panjang,
"Wahai murid-muridku, sesungguhnya apa yang kita ucapkan adalah refleksi dari batin kita."
"Si saudagar sedang marah, tentu saja caci maki yang ia umpatkan. Tiada gunanya membalas, karena itu hanya akan menimbulkan perdebatan panjang."
"Aku membalas pertanyaanya, bukan karena aku ingin menenangkannya. Namun para malaikat selalu berada di hatiku. Sehingga hal buruk apa pun yang kulihat, semuanya adalah baik adanya."