Selamat merayakan Hari Raya TriSuci Paskah, saudaraku. Perayaan ini telah mengisi 50 tahun usiaku. Setidaknya aku sadar, jika pada hari tersebut umat Kristiani merayakannya.
Aku sudah mengenal Yesus sejak masih kecil. Mengenyam pendidikan di sekolah Kristen dan Katolik, Yesus bukanlah sosok asing bagi diriku.
Diriku membayangkannya sebagai figur yang suci. Mengorbankan diri demi umat manusia, dan menjadi suri-tauladan bagi siapa saja. Iya, Yesus bukan hanya milikmu saja, wahai umat Kristiani. Saya bisa meyakinkan itu.
Penganut paham nyinyir melanjutkan; "Lalu mengapa engkau tidak menjadi Kristiani sekalian?"
Saya menjawab; "Biarlah surga nanti berwarna-warni. Saya membayangkan ada toleransi di sana. Diriku yang Buddhis bergandeng tangan dengan umat Kristiani, para sahabat Muslim, teman-teman Hindu, dan juga pemeluk agama lainnya.
Sebagaimana di bumi ini...
Kata orang sih, seorang pemuka agama akan memberikan contoh nyata. Bukan hanya khutbah manis, tapi perilakunya amis.
Persis seperti apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus pada setiap perayaan Kamis Putih. Beliau rela bersimpuh di hadapan narapidana, membasuh dan mencium kaki mereka.
Narapidana adalah pendosa dalam versi duniawi. Tentu saja, Yesus maha pengasih, pemaaf sejati. Keilahian-Nya tidak membeda-bedakan manusia dari sisi keyakinan.
Seperti Paus Fransiskus yang membasuh kaki para narapidana. Di antaranya juga ada umat Muslim. Lalu Beliau berkata;
"Setiap orang berhak untuk mengubah hidupnya, tidak ada satu pun yang berhak mendikte."
Begitu pula Yesus, Ia sadar jika hidup ini memang berwarna. Andaikan hanya ada satu agama di dunia ini, misi-Nya di kayu salib belum tentu selesai. Bukankah demikian? Maafkanlah pemahamanku yang kurang benar ini.
Sebabnya, bukanlah salah agama yang tidak bisa mendamaikan. Karena umat manusia memang demikian, selalu bergerilya mencari kesalahan. Jangan pernah salahkan Tuhan.
Di hari Paskah ini, saya adalah murid Yesus Kristus. Sebabnya saya telah mencontohi kemurahan hati dan pengorbanan-Nya. Tidak membedakan manusia berdasarkan Suku, Agama, maupun Ras. Itu adalah Karuna dalam versi yang kupahami.
Duduk di luar gereja, mendengarkan Kidung Agung, lantunan pujian bagi-Nya. Meresapi maknanya, dengan penuh cinta kasih terhadap sesama. Abaikanlah pendapat kaum nyinyir yang masih menganggapku sebagai pendosa. Karena mereka belum paham jika Metta adalah universal.
Pada saat yang sama, dalam doa, diriku juga bersimpuh kepada Allah SWT. Mengucapkan terima kasih atas suri-tauladan Nabi Muhammad SAW. Mengajarkanku makna puasa dan Ridho Allah. Turut bermudita atas kebaikan umat Muslim sedunia.
Saya tidak pernah dilarang untuk belajar. Apalagi menggunakan kacamata kuda dalam melihat agama. Sebabnya ada tertera di prasasti Asoka;
"Mendorong pengembangan agama sendiri, mengagung-agungkan kebaikannya, tetapi mencela agama lain untuk kepentingan sendiri akan merugikan agama itu sendiri" -- Asoka's Major Rock Edicts VII
Di manakah imanku?
Setipis kertas tentunya. Sebabnya adalah manusia yang berulah. KTP harus tertera identitas agama. Itu seumur hidup, jadi kutulislah agama Buddha di sana. Tapi, semangat meyakini tidak akan membuatku mengubah data di dukcapil.
Padahal iman itu seharusnya lebih tebal dari gunung. Jadi, aku tidak ragu lagi menulis semua agama di bumi ini pada dinding batu. Dijamin setelah itu, masih banyak tempat yang tersisa bagi seluruh umat manusia.
Aku memang licik, tapi itu mungkin anugrah dari-Nya.
Jika tidak bisa menjadi anggota, kenapa tidak jadi simpatisan saja? Melihat segala sesuatu apa adanya. Tanpa prasangka buruk atau penilaian terpuruk. Aku memahami Upekhha, keseimbangan batin yang harus dijaga.
Engkau telah menertawakanku...
Tapi, tunggulah hingga para nabi, malakat, dewa-dewi bergandengan tangan di akhirat nanti. Mereka tidak mencari KTPku, tapi yang pasti kebaikan tidak pernah ditolak di Sana.
Sekali lagi, selamat Hari Raya TriSuci Paskah, saudara Kristianiku. Izinkanlah saya memelukmu, menyatukan dua jiwa yang sudah lama terpisah.
Izinkanlah aku masuk ke surgamu, walau itu hanya sesaat. Kan kuucapkan terima kasih kepada Yesus Kristus. Ia telah mengorbankan dirinya bagi umat manusia.
Setelah itu, aku berjanji untuk tetap menjadi mahluk Panna di dunia fana. Mengabarkan kabar gembira mengenai arti toleransi.
Ah, saya baru sadar. Itu halu namanya.
Tentu, di Surga tidak ada sekat tentang makna kebaikan. Semuanya adalah milik umat beriman, milik manusia yang tidak pernah menyembah kemunafikan.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H