Saya baru saja bertemu kawan lama yang pulang kampung dari Jakarta. Mengundangnya makan siang, lanjut dengan ngopi hingga petang.
Sebagaimana biasanya, nostalgia masa lalu tidak saja mengisi pembicaraan. Tapi, juga tentang isu teranyar. Kondisi ekonomi, politik, hingga masa depan bangsa.
Entah mengapa, saya merasa tidak terlalu nyaman pada saat kami berbincang mengenai utang pemerintah. Jelas, bukan dalam kapasitas saya untuk membedahnya.
Cakupannya terlalu luas, membutuhkan pendapat ekonom dan pejabat pemerintah.
Ketegangan bersambung hingga ke kondisi Srilanka. IMF mencatat jika negara tersebut gagal membayar utang. Totalnya sekitar 51 miliar dollar AS. Atau setara 732 triliun rupiah.
Untungnya, perbincangan diiring santai. Menggeser kekhwatiran dengan perbincangan ringan.
"Katakanlah kamu hanya berutang 2 miliar saat kamu berbisnis. Tapi, setelah bisnis dilanjutkan anakmu, tidak sampai 10 tahun, utangnya membengkak hingga 7 miliar."
Mencengangkan, iya!
Bukan rahasia lagi, kawan saya ini merujuk kepada komposisi utang pemerintah era SBY dan Jokowi. Sebagai perbandingan, masa berakhirnya pemerintahan SBY 2014 lalu, utang negara sebesar 2.608,78 triliun. Saat ini utang pemerintahan Jokowi sudah mencapai 7.014,58 triliun.
Melihat angka-angka fantastis tersebut, tentu saja ada perasaan was-was. Apa yang akan terjadi dengan negara ini? Apakah rakyat nanti akan ikut menanggung beban utang pemerintah? Apalagi ada contoh di Sri Lanka.