Selamat menunaikan ibadah puasa. Kuucapkan kepada engkau, sahabat-sahabatku. Entah mengapa hati ini turut berdebar.
Merasakan kedamaian di bulan suci Ramadan. Perasaan ini masih bergetar.
Puasa hukumnya wajib bagi umat Muslim. Menahan lapar, haus, dan nafsu itu penting. Mencontohi teladan Nabi, serta belajar mengendalikan diri.
Mengapa tidak bagi non-muslim?
Aih, diriku cemburu. Tidak pernah merasakan berpuasa, bahkan tidak pernah diajarkan begitu.
Guruku pernah meledekku. Seorang biksu, beragama Buddha tentu. "Lihatlah para sobat Muslim, mereka bisa menahan nafsu selama sebulan penuh."
Tentu, tidak ada kewajiban berpuasa bagi diriku. Meskipun agama Buddha juga punya caranya tersendiri. Atthasila Namanya.
Biasanya dilakukan pada saat hari Uposatha. Sebulan bisa empat kali. Jika terlalu berat, masih bisa dikorting.
Tapi, saya lebih banyak dapat gratis. Alias tidak pernah melakukannya. Aih, memalukan!
Tentu saja Guruku tidak bermaksud mengejekku. Itu hanya ilusiku. Beliau selalu melihat dunia dengan positif. Melihat kehidupan yang tidak provokatif. Mengajariku untuk selalu bersikap sportif.
Pujian kepada kaum Muslim adalah nyata. Lihatlah, betapa sulit mengalahkan nafsu duniawi. Tengoklah, betapa berbahagianya membersihkan batin.
Azan Magrib berkumandang, ada setumpuk perasaan lega bermunculan. Wajah ceria penuh kemenangan. Terpancar dari wajah sobat yang telah melaksanakan amalan.Â
Allahu Akbar, Allah Maha Besar... Demikianlah yang kudengar.
Patut dirayakan! Menaklukkan diri sendiri bak mencabut ribuan duri. Ah, tentu...
Pangkal masalah dan awal kebahagiaan adalah diri kita sendiri. Kita memiliki kuasa atas Karma kita sendiri. Begitulah saya diajarkan.
Tapi, ini bukan hanya masalah diri sendiri saja. Tidak ada Keakuan yang merajalela.Â
Ada zakat, ada juga berkat. Makna berbagi bagi yang taat, modal suci menyambut akhirat. Berdana dalam kamusku, adalah jalan menuju kebahagiaan hakiki.Â
Indahnya berbagi, indahnya melepas. Tidak menggenggam, itu adalah penderitaan. Demikianlah yang aku diajarkan. Sesungguhnya hidup ini adalah tidak kekal. Anicca namanya.
Bulan Ramadan adalah bulan yang suci, menjalani Rukun Islam yang wajib. Saling menghormati tentunya baik.
Tidak lupa juga sholat lima kali sehari. Aku salut padamu, saudaraku! Anumodana atas semua teladan yang telah engkau berikan kepadaku.
Ia yang tawakal berkata kepadaku, "tidak apa-apa, silahkan makan, saya sedang berpuasa."
Ini bukan soal makan sobat. Aku tahu engkau tidak akan tergoda. Niat sucimu sudah bulat.
Tantangan terbesar justru datang dari dalam diriku. Bagiku, bulan suci Ramadhan ini tak sekedar dimaknai dengan sahur hingga berbuka puasa. Atau sekedar tarawih dan ngabuburit.
Tapi, bagamaina menyelaraskan niat suci dalam hati. Tentu, tidak sekedar mengagumi. Lebih tepatnya bermudita. Turut berbahagia atas segala niat luhurmu.
Bukan juga tentang ucapan dan tindakan yang harus dirawat. Pikiranku pun harus bersih dari kekotoran batin. Lepas dari Lobha, Moha, dan Dosa. Itulah caraku menghormatimu, wahai sobat Muslim.
Selamat menjalankan ibadah puasa...Â
Jika hati seputih awan, jangan biarkan ia digoda hujan. Jika hati seindah bulan, jangan lupa memaknainya dengan senyuman.
Semoga Ridho Allah menyertaimu. Aamin ya Rabbalallamin.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, Semoga Engkau Selalu Hidup Berbahagia.
**
Acek Rudy for Kompasiana
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H