Lalu, Soviet pun terpaksa mengambil jalan lain. Ia menambah kekuatan militernya di Jerman. Hingga akhirnya Jerman terbelah dua, menjadi Timur dan Barat. Era Perang Dingin pun secara resmi mulai transparan.
Nikita Khruschev sebagai penerus Stalin juga berpendapat sama. Mereka menganggap tidak pantas bagi Amerika untuk membuat markas militer di Eropa. Pertanyaannya, siapa yang menjadi ancaman?
Tapi, hal tersebut tidak mengecilkan keinginan Soviet untuk bergabung dengan NATO. Mereka setuju, dengan beberapa catatan, khususnya mengenai dominansi Amerika di Eropa.
Sebuah langkah politis pun diambil. Soviet menggagas perjanjian Pan-Eropa. Isinya adalah Washington tidak memiliki urusan apa-apa di Eropa. Kasarnya, menyingkirlah!
Jawaban pun diterima. Pada tahun 1954, pihak Barat menolak usulan Moscow. Mereka juga mengatakan jika Moskow tidak punya tujuan demokratis. Tidak sesuai dengan konsep Pertahanan NATO.
Banyak pihak yang menyesali. Geoffrey Roberts, sejarawan asal Inggris mengatakan; "Jika perjanjian Pan-Eropa lebih serius didiskusi, kemungkinan Perang Dingin akan berakhir."
Perdana Menteri Soviet, Georgy Malenkov pada tanggal 12 Maret 1954, membuat sebuah pidato yang cukup "masuk akal." Ia mengatakan perjanjian Pan-Eropa akan mendorong masuknya Soviet menjadi anggota NATO.
Dengan demikian, maka Perang Dunia III mungkin akan bisa dihindari. Mencegah terjadinya adu nuklir. Jadi, permintaan Soviet jelas. Ia hanya tidak mau Amerika terlalu mencampuri urusan negara-negara di Eropa.
Keinginan Rusia bergabung di NATO pernah juga diutarakan oleh Mikhail Gorbachev setelah era Soviet. Namun, Boris Yeltzin sebagai penerusnya, hanya mendapat janji-janji buta.
Bukannya menanggapi serius sinyal dari Kremlin, NATO malah "mencaplok" beberapa negara bekas Soviet, dan dua aliansinya (Polandia dan Hungaria).
Sikap bermusuhan yang ditunjukkan oleh Amerika dan Inggris, terus berlangsung hingga kini. Entah karena Rusia terlalu kuat dengan militernya, atau Amerika yang takut tersaingi.