Bill Clinton yang menjabat sebagai presiden AS saat itu pun menjawab santai, "kenapa tidak?"
Pernyataan Clinton tersebut sontak membuat delegasi AS lainnya gugup. Tapi, setelah itu tidak ada lagi pembicaraan yang serius, kecuali para petinggi NATO yang meradang, tidak setuju jika Kremlin bergabung dengan NATO.
Lalu, mengapa tiada usaha lebih serius dari Putin?
Dalam kesempatan terpisah, Putin mengatakan jika NATO bukanlah aliansi Amerika, tapi sekelompok negara pengikut Amerika.
Namun, lebih dari itu...
Karakteristik Rusia tidak cocok dengan NATO. Para anggotanya mengharuskan sipil memiliki kendali atas militernya. Sementara Rusia bukan negara demokratis.
Kontrol sipil atas militer melanggar prinsip dasar kekuasaan negara. Transparansi publik adalah hal yang haram di segala lini pemerintahan. Terutama militer.
Lagipula, Rusia bukanlah negara yang senang berbagi rahasia. Dengan kekuatan nuklir terbesar dan bisa dikatakan salah satu yang tercanggih, tidak ada bagusnya membocorkan ilmunya.
Dua Singa di gunung yang sama? Apa yang terjadi? Itulah jika Rusia bergabung dengan NATO. Sebagai kekuatan raksasa, Rusia tentu tidak mau didikte oleh Amerika. Daripada dualisme kepemimpinan terjadi, mending sekalian tidak usah.
Thus, setelah Pakta Warsawa bubar, sepertinya NATO tidak berhenti mencari musuh bersama. Jadilah Rusia yang merupakan negara terbesar dari pecahan Uni Soviet pun jadi bulan-bulanan.
Amerika dan NATO sering tanpa angin, tanpa izin, membuat Rusia panas dingin. Rusia dianggap sebagai ancaman dalam setiap penerapan strategi militer NATO.