"Saya ingin memberikan aduan, ada polisi wanita di sini?" Seorang wanita dengan wajah pucat masuk ke dalam sebuah kantor polisi.
"Maaf, kami tidak punya polisi wanita yang sedang bertugas." Polisi yang sedang piket menjawab dengan acuh.
"Saya ingin berbicara dengan polisi wanita!" Si perempuan bersikeras.
"Cobalah lihat di sekelilingmu, apakah ada polisi wanita?"
"SAYA DIPERKOSA, SAYA MAU BICARA DENGAN POLISI WANITA!"
Barulah Kapolsek datang buru-buru. Sang gadis kemudian dibawa ke sebuah ruangan. Di sana ia ditemani oleh seorang Polwan.
Setelah sejam menangis dan menceritakan kejadian pemerkosannya, sang polwan berkata; "Saya turut bersedih atas kejadian yang menimpamu, namun mohon maaf, saya hanyalah Polantas."
Tidak berapa lama, Kapolsek masuk. "Maaf, setelah melihat kasusmu, TKP tersebut tidak berada di wilayah polsek kami, mohon maaf."
Krisis Pelecehan Seksual di Jepang
Jangan tertipu dengan predikat sebagai negara teraman bagi wanita. Bisa saja para wanitanya terlalu takut untuk mengungkapkan kejahatan yang telah mereka alami. Atau lebih tepatnya, mereka frustasi.
Itu terjadi di Jepang. Dalam sebuah survei, dari satu juta wanita, 510 wanita diperkosa di Inggris. Sementara di Jepang hanya 10. Benarkah demikian?
Tidak, karena kekerasan seksual wanita adalah hal yang diianggap wajar di sana. Ramai memenuhi kehidupan sehari-hari, menjadi percakapan sehari-hari, dan jamak dijadikan hiburan dalam film industri.
Japan's Secret Shame
Sebuah film dokumenter: Japan's Secret Shame telah membuka mata dunia, bahwa kekerasan seksual di Jepang adalah tentang ketimpangan gender yang telah berlangsung lama, lama sekali.
Film tersebut berkisah tentang Shiori Ito, seorang jurnalis muda yang menuntut Noriyuki Yamaguchi dari tuduhan perkosaan. Terjadinya pada 2015, ketika Shiori yang berusia 25 tahun, dipenuhi ambisi untuk menjadi seorang jurnalis terkenal.
Ia bertemu dengan Yamaguchi, sosok yang ia kagumi sebagai jurnalis senior. Yamaguchi bukan sosok yang sembarangan. Ia selebriti, terkenal, disegani, dan memiliki koneksi kuat dalam lingkar elit politik Jepang.
Yamaguchi juga memegang jabatan penting. Di tempat kerjanya, sebuah media besar Jepang, Yamaguchi adalah Kepala Biro Berita di Washington, AS.
Film dibuka dengan skenario yang mengaduk perasaan. Mengisahkan kesaksian Shiori, bagaimana dia mengalami pelecehan. Hal yang sulit bagi seorang wanita korban perkosaan yang harus mengingat kembali semua kejadian, detil per detil.
Dan juga menceritakan tentang ironi budaya Jepang, dimana kekerasan seksual adalah sesuatu hal yang tabu untuk dibicarakan.
Dengan kenyataan bahwa hukum kekerasan seksual di Jepang tidak pernah diperbaharui sejak 1907; tuntutan kepada pemerkosa jauh lebih ringan dari pencuri.
Kasus Shiori membuka mata Jepang dan Dunia, bahwa budaya sudah seharusnya berubah.
Kejadian Pemerkosaan
Alkisah setelah pertemuan pertama, Shiori pun membuat janji bertemu dengan Yamaguchi. Tentunya agar suasana rileks, pertemuan dilakukan sambil makan malam berdua, lalu dilanjutkan dengan acara minum-minum.
Shiori mengaku, jika ia diberikan semacam obat bius pada malam itu. Lalu, Shiori yang mabuk dibawa oleh Yamaguchi ke hotel tempat tinggalnya di Tokyo.
Supir taksi yang memberikan kesaksian mengatakan jika Shiori beberapa kali minta diturunkan di stasiun kereta. Tapi, Yamaguchi tidak mau dengan alasan terlalu berbahaya meninggalkan seorang wanita mabuk sendirian.
Alibi yang sama dari Yamaguchi ketika ia memberikan keterangan. Tidak ada paksaan, demi keamanan Shiori dengan suka rela menginap di kamar hotelnya.
Di sanalah Shiori mengaku diperkosa dalam keadaan tidak sadar. Oleh seorang lelaki yang berusia 20 tahun lebih tua darinya.
Tidak banyak yang diingat Shiori. Ia hanya tahu jika ia berkata, berhenti, sakit!" Tapi Yamaguchi tidak berhenti.
Shiori kemudian sadar, bahwa ia berada di dalam sebuah kamar hotel. Ia mencari bajunya dan bermaksud ingin meninggalkan ruangan itu. Tapi, Yamaguchi mendorongnya kembali ke tempat tidur lagi dan melakukannya berulang-ulang kali.
Sejak saat itu, hidup Shiori berubah drastis. Diperkosa oleh lelaki yang baru saja ia kenal. Ia tidak rela, meskipun Yamaguchi menjanjikan posisi yang bagus di perusahaannya.
Birokrasi dan Budaya Jepang Pro Patriarki
Namun, langkah Shiori tidak berjalan mulus. Ia harus berhadapan dengan birokrasi yang belit hingga pengaruh politik yang rumit.
Ketika ia menelpon Rape Crisis Call Centre, mereka tidak mau berbicara lewat telpon. Shiori harus menempuh perjalanan selama dua jam untuk sampai ke sana.
Belakangan Shiori baru tahu bahwa setiap bulan, pusat krisis tersebut bisa menerima sekitar 650 telpon. Tapi, nyatanya yang hadir tidak sampai 10. Bagaimana tidak, hanya ada satu Rape Crisis Centre yang harus melayani sekitar 13 juta penduduk Tokyo.
Melapor ke polisi juga tidak mudah. Shiori harus berhadapan dengan petugas polisi pria yang membuat dirinya tidak nyaman. Belakangan ia juga baru tahu bahwa petugas polisi wanita hanya sebanyak 8% saja di Jepang.
Dan tulisan pada bagian awal artikel ini adalah kejadian nyata yang dialami Shiori.
Setelah diinterogasi untuk kedua kalinya, petugas polisi menangani kasusnya melayangkan berbagai pertanyaan yang tidak masuk akal. Penuh kecurigaan dan juga terkesan intimidatif.
Shiori bahkan disuruh membuat rekonstruksi menggunakan boneka mainan seukuran manusia dan tempat tidur kecil. Si polisi memintanya untuk memperagakan adegan pemerkosaan.
Perlawanan yang Tidak Mudah
Ketika Shiori mulai berbicara ke publik, beritanya hanya dianggap sebagai gosip murahan dari seseorang yang ingin mencari perhatian. Itu karena Yamaguchi sudah terlanjur memiliki citra yang baik di masyarakat.
Sebagai seorang pahlawan yang berjasa bagi Jepang, Yamaguchi juga memiliki pengaruh yang kuat dalam lingkar Perdana Menteri Jepang saat itu. Ia adalah penulis biografi Shinzo Abe.
Konon pihak kepolisian dan media setempat juga mendapat tekanan politik. Pihak kepolisian "dipaksa" untuk menghentikan penyidikan. Sementara pihak media "disuruh" untuk berpihak kepada Yamaguchi.
Dalam sebuah acara live di televisi Jepang, Yamaguchi mengaku jika niatnya baik. Ia ingin menolong Shiori dari ancaman pelecehan di jalan.
Yamaguchi menekankan bahwa Shiroi secara sukarela masuk ke kamarnya. Tidak ada paksaan sama sekali. Ia tidak punya pilihan lain selain membiarkan Shiori bermalam di sana.
Shiori sempat mengirim email ke Yamaguchi, "saya mabuk ketika kamu berhubungan badan dengan saya, coba pakailah nuranimu." Ia berkata.
Yamaguchi membalas email Shiori, "saya juga mabuk dan susah menolak tubuh wanita cantik yang setengah telanjang."
Pasal Karet Undang-Undang Pelecehan Seksual
Yamaguchi cukup pintar memanfaatkan pasal karet kekerasan seksual Jepang. Hukum di Jepang menyatakan bahwa perkosaan hanya terjadi jika ada penganiayaan.
Selebihnya adalah hubungan cinta suka sama suka. Di Jepang kata "tidak", bukan berarti tidak mau. Â
Lalu, seorang lelaki yang juga tampil di televisi pada saat Yamaguchi diwawancara berkata, "Saya tidak suka wanita mabuk, mereka menjijikkan. Untung kamu (Yamaguchi) masih mau menerimanya."
Semua hal yang dialami Shiori bermuara ke satu kesimpulan. Ia tak bisa menang melawan Yamaguchi.
Dan memang benar, meskipun saksi supir taksi, rekaman CCTV hotel menguatkan alibi Shiori bahwa ia tidak berdaya, tapi Yamaguchi tidak pernah ditahan.
Langkah selanjutnya bagi Shiori adalah melawan Yamaguchi secara perdata. Menuntut ganti rugi atas ketidaknyamanan yang ia alami.
Saatnya Bersuara
Shiori juga mempublikasikan kisahnya. Tapi kali ini benturan datang dari budaya. Keluarganya tidak menyetujuinya, bagi mereka itu adalah aib yang harus disembunyikan.
Reaksi publik juga ganas, banyak yang menuduh Shiori tidak beretika; "Wanita Jepang tidak seharusnya demikian memalukan." Bahkan dari sesama wanita, Shiori dituduh sebagai pelacur yang ingin mencari sensasi.
Tapi, ada juga yang mendukungnya. Dan itu tidak sedikit.
Dengan cepat tagar #MeToo" meruak. Wanita-wanita yang merasa senasib dengan Shiori mulai bersuara di media sosial.
Media nasional dan internasional pun tak kalah diam, kisah Shiori berguling bak bola salju. Semakin lama, semakin besar.
Harvey Weinstein dari BBC mengungkapkan; "Bahwa tagar MeToo memiliki dampak yang besar bagi kehidupan sehari-hari wanita di Jepang." Kemudian tagar ini berubah besar dan menjadi "WeToo."
Korban kekerasan seksual yang selama ini menutup diri, kini mulai bersuara. Shiori menjadi pionir bagi mereka yang selama ini diam. Dampaknya bahkan hingga ke Korea Selatan yang juga memiliki budaya patriarki yang kuat.
Sebelumnya, perkosaan adalah sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Bahkan media menggunakan kata "tricked (diperdayai)" ketika korban masih di bawah umur, dan "violated (dilanggar)" untuk kasus yang viral.
Tidak heran, Jepang adalah negara urutan ke-114 dalam hal keseteraan gender berdasarkan survei World Economic Forum tahun 2017.
WeToo Viral
Usaha Shiori tidak sia-sia. Pada awal April 2017, beberapa hari setelah #WeToo viral, untuk pertama kalinya Jepang mengubah amandemen terhadap undang-undang kekerasan seksual yang telah berumur 110 tahun.
Pelaku perkosaan kini sudah diancam 5 tahun penjara, sebelumnya hanya 3 tahun. Meskipun demikian, masih banyak yang harus diubah, termasuk batasan usia di bawah umur masih 13 tahun. Dan juga, pasal karet tentang "sukarela berhubungan badan."
Pada Desember 2019, atau dua tahun setelah Shiori bersuara, pengadilan Tokyo akhirnya menyetujui ganti rugi sebesar 3,3 juta yen atau sekitar 400 juta Rupiah.
Shiori tidak pernah membidik uang, ia hanya ingin menekankan bahwa Yamaguchi bersalah. Karena hasilnya akan membawa perbedaan yang besar. Baik bagi para wanita di Jepang dan juga masa depan anak-anak di seluruh dunia.
Kelak pada 2020. Shiori Ito mendapat predikat sebagai 100 orang paling berpengaruh di dunia versi majalah TIME
**
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H