Lalu, seorang lelaki yang juga tampil di televisi pada saat Yamaguchi diwawancara berkata, "Saya tidak suka wanita mabuk, mereka menjijikkan. Untung kamu (Yamaguchi) masih mau menerimanya."
Semua hal yang dialami Shiori bermuara ke satu kesimpulan. Ia tak bisa menang melawan Yamaguchi.
Dan memang benar, meskipun saksi supir taksi, rekaman CCTV hotel menguatkan alibi Shiori bahwa ia tidak berdaya, tapi Yamaguchi tidak pernah ditahan.
Langkah selanjutnya bagi Shiori adalah melawan Yamaguchi secara perdata. Menuntut ganti rugi atas ketidaknyamanan yang ia alami.
Saatnya Bersuara
Shiori juga mempublikasikan kisahnya. Tapi kali ini benturan datang dari budaya. Keluarganya tidak menyetujuinya, bagi mereka itu adalah aib yang harus disembunyikan.
Reaksi publik juga ganas, banyak yang menuduh Shiori tidak beretika; "Wanita Jepang tidak seharusnya demikian memalukan." Bahkan dari sesama wanita, Shiori dituduh sebagai pelacur yang ingin mencari sensasi.
Tapi, ada juga yang mendukungnya. Dan itu tidak sedikit.
Dengan cepat tagar #MeToo" meruak. Wanita-wanita yang merasa senasib dengan Shiori mulai bersuara di media sosial.
Media nasional dan internasional pun tak kalah diam, kisah Shiori berguling bak bola salju. Semakin lama, semakin besar.
Harvey Weinstein dari BBC mengungkapkan; "Bahwa tagar MeToo memiliki dampak yang besar bagi kehidupan sehari-hari wanita di Jepang." Kemudian tagar ini berubah besar dan menjadi "WeToo."
Korban kekerasan seksual yang selama ini menutup diri, kini mulai bersuara. Shiori menjadi pionir bagi mereka yang selama ini diam. Dampaknya bahkan hingga ke Korea Selatan yang juga memiliki budaya patriarki yang kuat.