Saya dibesarkan dalam keluarga yang beragama Buddha. Saya menuntut ilmu di Sekolah Dasar Kristen, dan lanjut ke Sekolah Menengah Katolik.
Saya membaca Alkitab semasa saya kecil, dan sampai saat ini beberapa ayat dari Kitab Kejadian hingga Wahyu masih melekat di kepalaku. Hanya satu yang teringat, semuanya bagus.
Kebenaran itu universal, indah di awal, indah di pertengahan, dan indah pada akhirnya. Kebenaran itu tidak bisa dikamuflase, sebagaimana matahari yang terbit di ufuk timur dan terbenam di barat.
Terhadap agama sendiri, kebenaran yang hakiki adalah kenyataan bahwa kita hidup berdampingan dengan penganut agama lain. Itulah kebenaran.
Jadi ingat kutipan prasasti No. XXII Raja Asoka dari zaman Sang Buddha;
"Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaiknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu."
Dengan demikian maka kita dapat mengembangkan agama sendiri dan juga menguntungkan agama lain. Sebaliknya, mencela agama lain hanya akan menghasilkan keburukan bagi agama sendiri.
Kembali kepada kisah BJ. Habibie. Tentu ada kemanfaatan khusus antara kepintaran sang Yahudi dan Al-Qur'an yang dibacanya setiap subuh. Ia mengakuinya sendiri kepada Habibie.
Terlepas dari ayat Al-Qur'an yang dibaca, bagi saya sendiri sang Yahudi telah selangkah lebih maju dari siapa pun juga. Ia berhasil membuka mental bloknya dengan mempelajari kesakralan agama lain.
Dalam dunia nyata, kepintaran yang ia miliki berasal dari keinginannya untuk selalu belajar. Ia tidak pernah menutup diri terhadap hal-hal yang menurut banyak orang (mungkin) "haram".
Jadi ingat perkataan kakek, bahwa kita bisa belajar dari siapa pun juga, bahkan makian dari orang yang membenci kita sekali pun. Tegantung dari sudut mana yang ingin kita ambil.