Ini adalah Kisah menarik tentang Presiden ke-3 RI, B.J. Habibie. Kejadiannya pada saat ia masih menimba ilmu di Jerman.
Meskipun ia termasuk mahasiswa yang pintar, ternyata ia hanya urutan ke-3 di kelas. Juara satu dan dua selalu ditempati oleh dua orang Yahudi.
Karena penasaran, Habibie pun bertanya kepada kedua orang Yahudi tersebut. Apa sih rahasia mereka bisa menjadi rangking 1 dan 2 terus-menerus?
Namanya juga "Yahudi", tentu saja rahasia tidak mudah dibocorkan. Tapi, Habibie tidak menyerah, ia terus mencari tahu. Sehingga pada suatu waktu, kedua Yahudi tersebut mengajak Habibie bermalam di rumahnya.
Betapa kagetnya Habibie ketika melihat bahwa kedua sahabatnya ini masih membaca pada pukul dua pagi. Ia lebih kaget lagi ketika megetahui bahwa buku yang dibaca adalah Al-Qur'an.
Habibie pun bertanya, "ini kan Al-Qur'an, kitab suci agama saya. Kenapa kamu membacanya?"
Orang Yahudi dalam kisah tersebut pun menjawab, "Rudy, seandainya umatmu membaca Al-Qur'an dan lebih perhatian kepadanya, maka mereka tidak akan kalah."
Habibie pun termenung, ternyata rahasia Yahudi itu sudah ada di depan mata. Habibie hanya tidak menyadarinya saja.
Dalam kisah tersebut, disebutkan juga bahwa rahasia sang Yahudi membuat Habibie serasa "ditempeleng". Sejak saat itu ia pun rajin shalat Tahajud dan membaca Al-Qur'an.
**
Sebelum kita melanjutkan kisah ini, ada baiknya untuk memahami salah kaprah yang sering terjadi. Apakah Yahudi yang dimaksud dalam kisah tersebut merujuk kepada agama atau suku bangsa?
Mengutip dari sumber [2], istilah Yahudi bisa berarti agama, atau suku bangsa (etnis). Etnis Yahudi tidak semuanya beragama Yahudi, tetapi juga beridentitas Yahudi dari sisi tradisi. Â
Jika ditilik dari sisi etnis, selain agama Yahudi (Judaism), juga ada yang memilih tidak beragama (sekularisme), Kristen dari berbagai aliran. Bahkan ada pula beragama Islam yang biasa dikenal dengan sebutan "Jews for Allah". Dan mereka membaca Al-Qur'an dalam Bahasa Ibrani. [3]
Andaikan Yahudi yang dimaksud oleh Habibie adalah Yahudi yang beragama Islam, maka tentu ini adalah kisah inspiratif.
Menandakan bahwa Islam adalah ajaran universal yang tidak pernah membedakan suku. Jadi, apapun etnis seseorang, itu tidak akan pernah menjadi penghalang untuk memeluk agama Islam.
Sumber [1] dalam kisah tersebut menyimpulkan dua hal sederhana, yakni:
1) Al-Qur'an mampu memberikan ketenangan bagi pembacanya yang berujung kepada peningkatan konsentrasi yang tinggi.
2) Bagaimana Habibie yang seorang muslim dapat belajar keutamaan Al-Qur'an dari seseorang yang non-muslim.
Buat saya sendiri, terlepas dari kesimpulan 1 dan 2 di atas, seseorang yang berpikiran terbuka seyogyanya tidak menghalangi dirinya untuk mempelajari agama orang lain.
Saya pernah dibuat terkejut dengan seorang kawan pendeta muda. Ia dengan gamblang mengatakan bahwa ajaran Buddha (Dhamma) sering menjadi rujukannya dalam membawa kotbah.
Ketika saya bertanya, dari sisi mana Anda melihat? Ia hanya berkata bahwa kebajikan itu universal tanpa memandang suku, agama, atau rasnya.
Lantas apakah keimanan kawan saya ini akan goyah? Yang pasti hingga saat ini ia masih berprofesi sebagai pendeta Kristen. Bonusnya, kami sering berdiskusi tentang agama masing-masing. Tanpa perdebatan, tanpa pertengkaran.
Begitu pula dengan seorang Uztad yang namanya tidak saya sebutkan. Ia sering berada di Vihara untuk berdiskusi tentang "kebaikan universal" dengan seorang Bhikkhu di kota Makassar.
Ketika saya turut nimbrung, tanpa segan-segan beliau juga mengutip beberapa ayat Al-Qur'an dalam pembicaraan. Saya dan sang Bhikkhu tentu mendengarkan juga dengan penuh perhatian.
Saya dibesarkan dalam keluarga yang beragama Buddha. Saya menuntut ilmu di Sekolah Dasar Kristen, dan lanjut ke Sekolah Menengah Katolik.
Saya membaca Alkitab semasa saya kecil, dan sampai saat ini beberapa ayat dari Kitab Kejadian hingga Wahyu masih melekat di kepalaku. Hanya satu yang teringat, semuanya bagus.
Kebenaran itu universal, indah di awal, indah di pertengahan, dan indah pada akhirnya. Kebenaran itu tidak bisa dikamuflase, sebagaimana matahari yang terbit di ufuk timur dan terbenam di barat.
Terhadap agama sendiri, kebenaran yang hakiki adalah kenyataan bahwa kita hidup berdampingan dengan penganut agama lain. Itulah kebenaran.
Jadi ingat kutipan prasasti No. XXII Raja Asoka dari zaman Sang Buddha;
"Janganlah kita hanya menghormati agama sendiri dan mencela agama orang lain tanpa suatu dasar yang kuat. Sebaiknya agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu."
Dengan demikian maka kita dapat mengembangkan agama sendiri dan juga menguntungkan agama lain. Sebaliknya, mencela agama lain hanya akan menghasilkan keburukan bagi agama sendiri.
Kembali kepada kisah BJ. Habibie. Tentu ada kemanfaatan khusus antara kepintaran sang Yahudi dan Al-Qur'an yang dibacanya setiap subuh. Ia mengakuinya sendiri kepada Habibie.
Terlepas dari ayat Al-Qur'an yang dibaca, bagi saya sendiri sang Yahudi telah selangkah lebih maju dari siapa pun juga. Ia berhasil membuka mental bloknya dengan mempelajari kesakralan agama lain.
Dalam dunia nyata, kepintaran yang ia miliki berasal dari keinginannya untuk selalu belajar. Ia tidak pernah menutup diri terhadap hal-hal yang menurut banyak orang (mungkin) "haram".
Jadi ingat perkataan kakek, bahwa kita bisa belajar dari siapa pun juga, bahkan makian dari orang yang membenci kita sekali pun. Tegantung dari sudut mana yang ingin kita ambil.
Berpisah dengan yang baik dan bertemu dengan yang buruk adalah hal-hal umum yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Agar dapat berpisah dengan hal yang buruk dan bertemu dengan hal baik, maka kita hanya perlu membalikkan "telapak tangan perspektif". Bahwa semua hal yang ada di bumi ini adalah ciptaan Tuhan, dan semuanya baik adanya. Demikian pula dengan kamu, kamu, dan kamu.
Semoga Bermanfaat.
**
**
Acek Rudy for Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H