Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Para Ahli Gizi Pun Beda Pendapat Tentang Berapa Kali Makan Sehari

10 Februari 2022   05:58 Diperbarui: 10 Februari 2022   05:59 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sangat jarang makan pagi. Ada yang berkata jika makan pagi itu sehat. Setelah lebih dari dua belas jam perut tidak terisi, sarapan bisa memberikan energi yang baik.

Tapi, ada juga yang bilang jika sarapan itu tidak terlalu penting. Tergantung apakah seseorang merasa lapar jika ia bangun pagi.

Pendapat tentang sarapan dan pola makan pun menjadi perdebatan di antara para ahli.

Dilansir dari (sumber 1), Ahli Gizi Agatha S.Gz mengatakan jika frekuensi makan ideal bagi orang dewasa adalah lima kali sehari.

Lima kali itu dibagi menjadi dua bagian, yakni waktu makan utama (sarapan,siang,malam) dan waktu tambahan, yakni pagi menuju siang dan sore menjelang malam.

Menurut Agatha, tujuannya adalah untuk mencegah rasa lapar, khususnya bagi mereka yang memiliki aktivitas padat. "Tapi, yang ringan-ringan saja, seperti snack atau buah," pungkasnya.

**

Lain lagi dengan ahli gizi Jansen Ongko yang dikutip dari (sumber 2). Menurutnya makan tiga kali sehari bukan satu-satunya cara untuk sehat. Tidak apa-apa frekuensinya kurang, selama asupan nutrisi terjaga.

"Mau makan 2 sampai 5 kali tidak masalah, yang penting porsi, komposisi, dan keseimbangan gizi terjaga." Demikian yang disampaikan.

Lebih lanjut Jansen juga berkata, bahwa ngemil hanya diperlukan jika rasa lapar terasa. Membiarkan perut keroncongan berlama-lama akan menimbulkan bahaya asal makan, atau terlalu lahap.

**

Teori yang berbeda juga dicetuskan oleh ahli gizi dari Banjarmasin. Menurut Pramono, "makan cukup dua kali sehari." (sumber 3).

Alasannya ada yang namanya psikologi pelik tubuh manusia. Yaitu, jeda dari makan pertama sebelum menuju ke makan sesudahnya. Menurut Pramono, waktu yang terbaik itu berjarak 12 jam.

Ia menjelaskan bahwa 6 hingga 8 jam adalah waktu bagi perut mencerna makanan. Sisa 6 hingga 4 jam berikutnya adalah saat dimana perut beristirahat.

Pada saat itulah perut akan memiliki waktu untuk menyimpan enzim yang dibutuhkan, memperbarui selaput lendir, dan menormalkan sistem pencernaan.

**

Dari tiga pendapat yang berbeda-beda ini saja, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa defenisi pola frekuensi makan yang sehat itu berbeda-beda. Jadi, seperti apa yang sebenarnya.

Ada baiknya kita melihat kembali kepada sejarah. Seperti apakah nenek moyang kita dulunya.

Masyarakat Romawi kuno hanya makan sekali sehari di waktu siang. Mereka memiliki kearifan lokal tersendiri mengenai sistem pencernaan yang sehat. Terlebih lagi, makan lebih dari itu dianggap sebagai tanda keserakahan.

Sementara kebiasaan sarapan adalah pengaruh dari negara-negara Eropa pada abad ke-17. Kebiasaan ini konon pertama kali dilakukan oleh para bangsawan Inggris, dan kemudian tren ini diikuti oleh kelas sosial lainnya.

Revolusi Industri kemudian mengukuhkan sarapan sebagai pola hidup modern. Dengan bertumbuhnya industri, kedisiplinan dan pola kerja yang teratur mulai diterapkan. Jam kerja dipatok, demikian pula dengan waktu sarapan dan makan siang.

Pada 1920an, saat pengaruh Eropa mulai merambah ke Amerika, kebiasaan sarapan pun mulai diperkenalkan. Sarapan dianggap penting, karena industri membutuhkan tenaga kerja yang kuat dan sehat.

Kebiasaan Bangsa Romawi hanya berfokus pada makan siang saja juga terjadi di Prancis. Bagi mereka di sana, malam hari hanyalah waktu untuk mengisi perut dengan makanan ringan saja.  

Tapi, itu bukan arti sebenarnya dari makan siang. Kata "Lunch" diyakini berasal dari kata "nuncheon" (anglo-saxon). Artinya adalah "makan cepat di antara dua waktu dengan sesuatu yang bisa kamu makan".

Nenek moyang Eropa ternyata menganggap jika makan siang bukanlah porsi yang besar.

Sampai abad ke-17, kebiasaan makan para leluhur masih bervariasi. Hingga Revolusi Industri yang mengubah semuanya menjadi teratur.

Para pekerja harus kerja keras dari pagi hari hingga sore. Sehingga makan siang menjadi sama pentingnya dengan sarapan. Semua orang melakukannya, dari anak buah hingga atasannya. Tanpa terkecuali.

Agar semua bisa berkonsentrasi, sarapan dan makan siang dianggap bagian dari bekerja.

Meski waktunya mepet, semua orang harus "mengerjakannya." Sekarang, makan siang sudah masuk dalam kategori istirahat. Mengambil waktu sejam dari total jam kerja. Meski waktunya masih luang, orang masih menggunakannya untuk bersantai. Waktu makan siang sudah menjadi keharusan.

Lantas beban kerja pun semakin banyak. Semua orang merasa dirinya telah bekerja keras dari pagi hingga sore hari. Malam hari adalah waktunya beristirahat dan merayakan pencapaian. Berkumpul bersama keluarga atau sahabat dengan menu lengkap makan malam pun menjadi keharusan. Kebiasaan makan malam bersama keluarga baru mulai populer pada era tahun 50-an.

Dunia Modern

Dari sini kita dapat melihat bagaimana pola makan berubah, dari tidak teratur menjadi sebuah jadwal yang harus.

Namun, dunia telah berubah. Manusia semakin sibuk, aktivitas semakin padat. Kehidupan sosial tidak sebatas waktu lagi. Eksis dengan gadget telah menjadi semacam kewajiban.

Akibatnya, pola hidup terukur menjadi amburadul. Demikian pula dengan pola makan teratur.

Menurut Paul Freedman, sejarawan dari Universitas Yale; "Jadwal modern adalah jam kerja yang tinggi dan waktu senggang diisi dengan mengkonsumsi gawai."

Pendapat Freedman ini didukung oleh hasil riset Euromonitor International (2011). "Terdapat perubahan jadwal makan menjadi sesuatu yang lebih fleksibel."

Hal ini didukung oleh beberapa perkembangan gaya hidup lainnya, seperti meningkatnya ketergantungan akan media sosial, ibu yang bekerja (working mom), dan gaya hidup melajang.

**

Dengan segala kompleksitas yang muncul, mungkin saja ini yang menjadi dasar perbedaan pandangan di antara para ahli gizi. Sesuatu yang seharusnya berpola menjadi sesuatu yang lebih fleksibel.

Jadi, bagaimana pun cara Anda makan, yang terpenting adalah apa yang Anda makan. Asupan bergizi dengan jumlah yang cukup serta nutrisi yang seimbang. Bagaimana dengan Anda?

Semoga bermanfaat.

Referensi: 1 2 3 4 

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun