**
Teori yang berbeda juga dicetuskan oleh ahli gizi dari Banjarmasin. Menurut Pramono, "makan cukup dua kali sehari." (sumber 3).
Alasannya ada yang namanya psikologi pelik tubuh manusia. Yaitu, jeda dari makan pertama sebelum menuju ke makan sesudahnya. Menurut Pramono, waktu yang terbaik itu berjarak 12 jam.
Ia menjelaskan bahwa 6 hingga 8 jam adalah waktu bagi perut mencerna makanan. Sisa 6 hingga 4 jam berikutnya adalah saat dimana perut beristirahat.
Pada saat itulah perut akan memiliki waktu untuk menyimpan enzim yang dibutuhkan, memperbarui selaput lendir, dan menormalkan sistem pencernaan.
**
Dari tiga pendapat yang berbeda-beda ini saja, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa defenisi pola frekuensi makan yang sehat itu berbeda-beda. Jadi, seperti apa yang sebenarnya.
Ada baiknya kita melihat kembali kepada sejarah. Seperti apakah nenek moyang kita dulunya.
Masyarakat Romawi kuno hanya makan sekali sehari di waktu siang. Mereka memiliki kearifan lokal tersendiri mengenai sistem pencernaan yang sehat. Terlebih lagi, makan lebih dari itu dianggap sebagai tanda keserakahan.
Sementara kebiasaan sarapan adalah pengaruh dari negara-negara Eropa pada abad ke-17. Kebiasaan ini konon pertama kali dilakukan oleh para bangsawan Inggris, dan kemudian tren ini diikuti oleh kelas sosial lainnya.
Revolusi Industri kemudian mengukuhkan sarapan sebagai pola hidup modern. Dengan bertumbuhnya industri, kedisiplinan dan pola kerja yang teratur mulai diterapkan. Jam kerja dipatok, demikian pula dengan waktu sarapan dan makan siang.