Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Shin Tae-yong Belum Apa-apa, Ini 4 Pelatih Timnas Indonesia yang Beprestasi

2 Januari 2022   19:19 Diperbarui: 2 Januari 2022   19:40 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: mediaindonesia.com, bola.com, kompas.com, boombastis.com, indosport.com)

Timnas Garuda barusan selesai melakoni final AFF Cup 2020. Baik buruknya prestasi, adalah masalah persepsi. Berhasil menjadi runner-up atau gagal menjadi juara.

Tidak baik menyalahkan para pemain Timnas. Mereka adalah kebanggan bangsa yang menyemat "Garuda di Dadaku." Tapi, bukan pelatihnya. Shin Tae Yong harus dipecat!

Kira-kira seperti inilah dilema di dunia sepak bola Indonesia. Keresahan yang muncul dari pencinta sepak bola bangsa terhadap nasib Pelatih STY. Ini bukanlah yang pertama, gonta-ganti pelatih Timnas sudah sering terjadi.

Sejak berkiprah di dunia sepak bola Internasional, Timnas Indonesia sudah memiliki 43 pelatih. Terdiri dari pelatih asing dan juga putra terbaik bangsa.

Berikut linknya (sumber: tribunnews.com);

Bahkan pelatih yang pertama langsung menggebrak prestasi. Tim sepak bola dari Indonesia berhasil masuk ke putaran Final Piala Dunia tahun 1938 di Prancis.

Waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Bajunya pun masih warna oranje. Tapi, sebagian pemainnya adalah putra-putri bangsa ini. Sebuah kebanggan, meskipun pada putaran pertama langsung disikat Hungaria 0-6.

Pelatihnya adalah seorang Belanda, namanya Johannes Christoffel van Mastenbroek. Ia bisa dibilang sebagai pelatih pertama yang membentuk Timnas Indonesia.

Saat itu PSSI sudah terbentuk. Didirikan oleh seorang Insinyur Sipil, Soeratin Sosrosoegondo pada 1927 (Wikipedia). Namun, pengiriman Timnas ini tidak melibatkan PSSI. Belanda secara sepihak mengirim tim bentukannya sendiri. Terdiri dari pemain campuran Pribumi (Inlandeers), Tionghoa, dan juga orang Belanda.

Setelah itu, Indonesia merdeka. Gejolak revolusi tidak sempat membuat negara ini berkonsentrasi pada perhelatan sepak bola dunia. Barulah pada tahun 1951, Timnas ditukangi secara lebih serius lagi.

Prestasi Indonesia naik turun sejak saat itu. Faktor pelatih memang krusial. Ada yang biasa-biasa saja, ada pula yang legendaris. Ada beberapa sosok pula yang berhasil membawa gelar juara bagi Indonesia. Sayangnya, tidak banyak. Berikut adalah 4 nama yang pernah tercatat dalam sejarah.

Tony "Antun" Pogacnik

Ia ditunjuk sebagai pelatih Timnas Indonesia pada 17 Februari 1954. Arsitek asal Yugoslavia ini benar-benar melakukan segala sesuatunya dari awal.

Tony rajin blusukan hingga ke pelosok negeri, mencari talenta yang tersembunyi. Ia juga membangun kekuatan tim dari bawah, melatih para pemain dengan teknik-teknik dasar. 

Sukses pun diraih. Indonesia masuk babak final Asian Games 1954 di Manila. Lalu disusul dengan babak perempat final Olimpiade 1956 Melbourne. Hanya kalah dari juara Olimpiade 1956, Uni Soviet.

Prestasi Timnas yang diperkuat oleh beberapa nama besar pesepakbola Indonesia di zamannya itu masih berlanjut. Medali Perunggu Asian Games 1958 berhasil dibawa pulang.

Akibat skandal suap yang dikenal dengan Skandal Senayan 1962. Sepuluh pemain Timnas pun harus masuk bui karenanya. Karir Tony pun harus terhenti. Bukan karena prestasi atau skandal, namun karena cedera lutut pada tahun 1964.

Endang Witarsa

Pelatih ini juga adalah seorang dokter gigi. Lahir di Kebumen, tahun 1916. Ia sebenarnya termasuk salah satu skuad legendaris tim Piala Dunia 1938, namun menolaknya karena ingin fokus kuliah.

Endang menukangi Timnas Garuda pada 1966. Dengan strateginya, pada tahun yang sama, ia berhasil membawa Indonesia juara Piala Aga Khan di Pakistan, yang merupakan cikal bakal AFF Cup.

Hanya berselang dua tahun, Endang berhasil mempersembahkan Piala Raja Thailand 1968. Tim dari Burma (Myanmar) berhasil ditundukkan 1-0 di Final.

Setahun kemudian, Indonesia kembali berjaya di Kuala Lumpur. Kali ini giliran tim tuan rumah Malaysia yang dicukur dengan skor 3-2 pada even Merdeka Games 1969.

Masih melanjut, di tahun 1972 Indonesia kembali menjadi jawara pada Piala Anniversary Jakarta. Di partai puncak, tim Korsel disikat 5-2.

Pesta Sukan 1972 di Singapura adalah gelar terakhir yang dipersembahkan. Kala itu PSSI sukses menempatkan dua wakilnya di putaran final. PSSI A yang dipimpin Endang berhasil muncul sebagai jawara.

Hingga saat ini, belum ada pelatih Timnas Indonesia yang berhasil melampaui prestasi pelatih yang bernama asli Liem Soen Joe ini. Lima gelar bagi Indonesia selama masa kepelatihannya (1966-1970).

Anatoli Polosin

Ada kesan tersendiri saat pelatih asal Rusia ini menukangi Timnas Indonesia. Bukan hanya gelar pada SEA Games Edisi 1991 saja, tapi juga pola Latihan Shadow Footballnya. 

Bagaikan halunisasi, Timnas Indonesia harus bisa berlatih bermain bola tanpa bola. Tujuannya adalah untuk membentuk ketahanan fisik yang prima, stamina yang kuat, serta insting yang tajam.

Latihan fisik tidak hanya sebatas di lapangan saja. Dalam sehari latihan fisik diberlakukan. Mendaki gunung hingga menyusuri pinggiran jalan tol. Hasilnya luar biasa. Timnas Indonesia bisa berlari 4 km dalam tempo 15 menit. Mencapai standar tertinggi dalam level Eropa!

Hasil uji coba mengecewakan. Melawan Korea Selatan, Malta, Mesir, China, dan Austria, Indonesia kebobolan 17 gol dan hanya berhasil melesakkan 1 gol saja.

Namun, di ajang SEA Games 1991, tim berubah dahsyat. Menggasak Malaysia 2-0, menang atas Vietnam 1-0, Filipina 2-1. Di semifinal menang adu penalti atas Singapura. Dan menjadi juara atas Thailand melalui adu penalti 4-3.

Beertje Matulapelwa

Bisa dikatakan pelatih asli Indonesia yang tersukses setelah Endang Witarsa adalah Beertje Matulapelwa. Rekornya hanya menjuarai SEA Games 1987 di Jakarta. Namun, kisah di belakang kesuksesannya patut menjadi contoh.

Beertje mendapat tugas yang cukup berat pada saat ditunjuk menjadi pelatih di tahun 1985. Catatan awalnya buruk, tim besutannya tunduk 7 gol tanpa balas dari Thailand.

Di tahun selanjutnya, performa Indonesia mulai membaik. Berhasil mengandaskan Uni Emirat Arab melalui adu penalti pada ajang Asian Games 1986. Meskipun harus terhenti oleh Korea Selatan 0-4, namun Indonesia telah berhasil menembus semifinal.

Puncak kejayaan berada pada SEA Games 1987. Di partai Final, Indonesia menang atas Malaysia melalui gol tunggal Ribut Waidi.

Sejak 1986, Indonesia mulai diperhitungkan di level Asia. Di bawah asuhan Beertje, the dream team ini diisi oleh pemain-pemain top.

Bukan sebuah perkara mudah bagi Beertje. Tersebab di masa tersebut, sepak bola Indonesia sedang terlibat perang saudara. Antara klub Galatama dan Perserikatan.

Dengan kemampuannya, Beertje berhasil memadukan dua kubu tersebut menjadi satu kekuatan. Hebatnya lagi, pelatih yang juga pendeta ini berhasil mengajak para pemain top Indonesia untuk bergabung.

Saat itu, bayaran timnas sangat minim. Namun, para pemain dengan sukarela menjadi bagian dari tim dengan ongkos uang saku bulanan saja. Semuanya karena kehebatan kepemimpinan Beertje Matulapelwa.

**

Masih banyak pelatih hebat. Meskipun tidak sempat mempersembahkan piala internasional bagi Indonesia, namun kiprahnya juga akan selalu dikenang.

Di antaranya adalah; Alfred Riedl yang melatih Timnas Indonesia sebanyak 3 periode. (2010-2011, 2013-2014, dan 2016). Peter Withe, Ivan Kolev, yang memberikan warna baru bagi Timnas. Serta dari putra asli bangsa, ada nama EA Mangindaan, Danurwindo, Nanar Iskandar, serta Sinyo Aliandoe. 

Jika ditilik, sejak periode 200an pelatih Indonesia rata-rata hanya bertahan setahun saja. Dikutip dari Kompas.com, legenda pesepak bola Indonesia Bambang Pamungkas (BP) menyampaikan keresahannya.

Menurutnya, "Kita telalu berfokus kepada hal yang instan. Saatnya harus diubah."

Sekarang memang zaman instan. Medsos membanjiri, metaverse pun menghantui. Namun, harus diingat bahwa prestasi sepak bola bukanlah hal instan yang bisa dipenuhi.

Pertanyaan besar sering menghampiri, bagaimana bisa Indonesia dengan total 270 jutaan penduduknya tidak bisa memilih 11 pesepak bola bagus? Apalagi di Indonesia, euforia sepak bola juga tidak kalah sangar.

Jadi, memang sabar adalah kuncinya. Banyak yang berkata jika PSSI harus banyak melakukan perombakan mendasar. Dari pemilihan talenta hingga pembinaan pemain. Juga model regenerasi sampai kepada program pelatihan.

Penulis setuju, tidak patut mencontohi klub sepak bola raksasa dunia yang selalu tidak sabaran. Sedikit-sedikit ganti pelatih. Tidak bagus pula bagi pemain. Baru beradaptasi, tiba-tiba pelatih diganti lagi, programnya pun berubah.

Bagaimana dengan Shin Tae Yong? Ya, terserah PSSI sih...

Referensi: 1 2 3 4

**

Acek Rudy for Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun