Pengalaman selama dua tahun, seharusnya cukup bagi saya untuk membimbing para sahabat menjadi Kompasianer. Meskipun tulisan mereka akan tercampur aduk dalam satu akun keroyokan bernama Grup Penulis Mettasik.
Jadilah saya didaulat menjadi admin, editor, dan mentor sekaligus. Jadi, bagi teman-teman, jika ada yang menyapa dan belum sempat kubalas, jangan kecewa ya. Saya hanya belajar dari Mimin Kompasiana saja. Eh...
Bekerja sendiri tentu memakan waktu. Tunggulah hingga ada seorang dua yang bersedia membantuku untuk blogwalking, barulah akun ini akan menjadi cerewet, seceriwis diriku. Ahhayy...
Sebelum saya melanjutkan lebih jauh, saya ingin menegaskan. Tujuan grup penulis ini memang menyebarkan Dhamma. Buddhis banget, kata sebagian orang.
Iya, gak apa-apalah. Anggap saja ini semacam PR sekolah bagi para aktivis vihara. Menuangkan isi kepala yang biasa dicuapkan, tapi belum pernah dituliskan.
Namun, kami juga berkeinginan untuk berbagi hal yang ringan tentang filsafat Buddhis sesuai dengan pengalaman hidup para penulis. Bagi kami, filsafat Buddhis adalah kebajikan universal yang tidak hanya dimiliki oleh kaum tertentu saja.
Katakanlah semacam sebuah ajakan untuk berbuat kebajikan yang tidak eksklusif. Meskipun ada satu dua istilah Pali, Sansekerta, yang Buddhis abis, mohonlah diabaikan. Sebagai editor, saya berusaha menjelaskan istilah-istilah yang masih terasa asing tersebut.
Kami juga bertekad untuk menghilangkan anggapan bahwa keyakinan kamilah yang terbaik. Tidak demikian, sobat.Â
Moderasi dimulai dari mencintai agama orang lain, bukan menyombongkan agama sendiri. Ini tertera dalam prasasti Asoka dari zaman sang Buddha. Dan kami sangat meyakininya.
Oleh sebab itu, tulisan ringan akan lebih banyak ditemukan pada akun Grup Penulis Mettasik. Para narasumber akan banyak menuliskan tentang pengalaman hidup sehari-hari mereka yang terkait dengan apa yang disebut sebagai Kebaikan Universal.
Tidak bermaksud menggurui. Oh, tidak.