Bak film horor, penghuni kompleks apartemen mewah Julong Gardens, Beijing heboh. Kompleks yang seharusnya ekslusif itu sering kedatangan tamu tak diundang.
Tidak ada niat jahat, hanya saja wajah-wajah mereka tidak dikenal oleh penghuni kompleks. Usut punya usut, ternyata mereka juga adalah penghuni di sana.
Tapi, mereka tidak tinggal di atas tanah. Di bawah tanah kompleks apartemen mewah, ada kamar-kamar kontrakan tanpa jendela. Ruangannya bisa menampung sekitar 400 orang.
Kehidupan Suku Tikus
Mereka bukan mahluk dari planet lain, orang-orang di China mengenal mereka sebagai ShuZu alias Suku Tikus. Dalam keseharian, mereka membaur dengan penduduk Beijing lainnya. Saat malm tiba, Suku Tikus ini akan kembali ke sarang mereka di bawah tanah kota Metropolitan.
Angka 400 jiwa yang tinggal di bawah apartemen mewah Julong Gardens, hanya sebagian kecil dari komunitas ShuZu. Secara keseluruhan, jumlahnya mencapai 1 juta jiwa. Hidupnya di dalam terowongan bawah tanah, yang panjangnya mencapai 30 kilometer, luasannya mencapai sekitar 78 kilometer persegi, dan dengan tinggi setara gedung 3 lantai.
Siapakah Mereka?
Pekerja migran, pekerja informal, hingga kawula muda yang datang ke Beijing untuk mengadu nasib. Alasan mereka menjadi Suku Tikus adalah biaya sewa yang murah.
Banyak dari mereka yang berpenghasilan rendah, seperti Keluarga Ji. Mereka tinggal di bagian saluran pembuangan. Bagian dari Kampung Tikus yang tidak berbayar.
Keluarga ini hanya mandi seminggu sekali. Itu pun di toilet umum pinggiran kota. Jarak tempuhnya jauh dari tempat mereka berada. Ayah Ji bekerja sebagai tukang sampah. Gajinya tidak lebih dari 500 ribu rupiah per bulan.
Ibu Ji kerja serabutan. Mengais rezeki dari seluruh penjuru kota. Anak mereka, Ji Fei Xiang baru saja datang dari kampung. Ia sudah beranjak dewasa dan merasa tidak punya masa depan di kampungnya, Anhui yang miskin.
Ia ingin mencoba peruntungannya di kota besar, mengikuti jejak orangtuanya yang sudah lama merana.
Tapi, tidak semua penduduk Suku Tikus miskin. Ada bagian yang masih lumayan. Bentuknya seperti kamar kos, bersih, layak huni, kecuali tidak ada jendela.
Bahkan ada pula yang sampai menyewa jasa desainer, agar bilik mereka menjadi tempat yang lebih Instagramable.
Di sanalah Wei Kuwan tinggal. Ia adalah seorang pemuda dengan penghasilan bulanan yang lumayan tinggi. Gajinya sekitar 64 juta rupiah per bulan. Alasannya memilih tempat tinggal di Kampung Tikus cukup klasik -- Takut jatuh miskin.
Sebabnya, di atas sana harga sewa apartemen meningkat tajam. BBC melaporkan, pada tahun 2017, harga sewa bulanan di Beijing bisa mencapai sekitar 9 juta rupiah per bulan. Beda jauh dengan harga sewa 265 ribu per bulan yang harus dibayar Wei Kuwan.
Tempat tinggal ini secara teknis illegal. Namun itu sesudah tahun 2012. Sebelumnya, pemerintah malahan menyarankan penduduknya untuk terbiasa menetap di sana, jika "situasi terburuk terjadi."
Yang dimaksud dengan "situasi terburuk" adalah jika Uni Soviet menjatuhkan bom atom di sana.
Kendati dua negara komunis terbesar ini terlihat damai, namun sebenarnya pada tahun 1950an, China dan Soviet pernah bersitegang.
RRC yang kalah itu masih dipimpin oleh Mao Zedong menganggap "Perang Dingin" sudah mencapai puncaknya pada tahun 1969. Seperti kekhwatiran Amerika pada tahun 80an, Mao juga memprediksi bahwa bom atom hanyalah masalah waktu. Mereka pun tak segan meluncurkannya jika dianggap perlu.
Dikeluarkanlah instruksi. Seluruh penduduk Beijing harus menggali terowongan bawah tanah di bawah rumah. Fungsinya untuk berlindung dari serangan bom atom.
Pemerintah melanjutkan galian dengan membuat terowongan sepanjang 30 km. Daerah berlindung yang dapat menampung sekitar 8 juta penduduk Beijing.
Pada tahun 1975, proyek ini selesai. Memakan waktu sekitar 6 tahun sejak 1969. Bukan hanya di Beijing, tapi juga 75 kota besar di China. Jika bom atom benar-benar dijatuhkan, tercatat 60% penduduk China masih bisa selamat.
Nyatanya, ancaman nuklir tidak pernah jadi kenyataan. Namun, sebagian penduduk sudah terlanjur nyaman berada di sana. Mereka merasa hangat di musim dingin, dan sejuk di musim panas.
Apa yang dulunya legal, kemudian dibuat illegal.
Pada 2010, keberadaan Suku Tikus menjadi perhatian khusus. Pemerintah China menganggapnya sebagai masalah sosial. Selain berbahaya bagi penduduknya, Suku Tikus dianggap tidak mewakili kemegahan kota Beijing.
Pada tahun 2015 pemerintah melakukan razia di tempat ini. Lebih dari 120 ribu orang kena gusur. Padahal sebagian dengan resmi menyewanya. Kepada siapa? Tiada yang tahu.
Sebagai gantinya, pemerintah pusat lantas berkeinginan mengalih fungsikan tempat tersebut. Proyeknya besar dan mentereng, dinamakan Kota Bawah Tanah (Dixia Cheng).
Tujuannya komersil, areal pabrik, pergudangan yang bisa disewakan, hingga area umum tempat bermain.
Tidak masalah, sebabnya areal tersebut memang luas. Namun, pada zamannya bunker yang diciptakan Mao ini tidak hanya sekadar tempat perlindungan. Infrastruktur juga sudah siap.
Bahu membahu rakyat di bawah perintah partai komunis, mampu menciptakan sebuah ruang dan jaringan yang luar biasa. Karena dimaksudkan sebagai hunian panjang, fasilitas pun direncanakan.
Pemerintahan Mao telah menyediakan banyak bilik, dapur, toilet umum. Ruangan genset, lengkap dengan saluran pembuangan, ventilasi udara, saluran pipa gas, kabel listrik, hingga ruang khusus merokok.
Sebagai fasilitas umum, maka ada areal untuk restoran, fasilitas olahraga, hingga bioskop. Untuk menjamin kelangsungan hidup, pabrik pendukung dan gudang pun rencananya akan dibuat di sana.
Selama beberapa dekade berikutnya, seiring dengan pudarnya kekhwatiran serangan bom atom, daerah tersebut menjadi semakin komersil. Hotel dan penginapan murah pun dibangun oleh komunitas lokal yang tinggal di sana.
Jika kota bawah tanah ini tetap dibiarkan dihuni oleh Suku Tikus, maka tidak tertutup kemungkinan, kelak Beijing akan terbelah dua. Mereka yang tinggal di atas tanah, dan yang berada di bawah tanah. Sebuah fenomena yang mungkin hanya bisa ditemukan pada film-film Hollywood saja.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H