Nama lengkapnya Agustijn Michels, keturunan indo dan pribumi. Orang Tionghoa di sekitarnya memanggilnya dengan nama Major Jantje. Ia mewarisi kekayaannya dari ayahnya berupa tanah di Klapanunggal, Cileungsi, Bogor.
Tanah tersebut disebut Gunung Burung atau bahasa Belandanya Vogelberg. Banyak sarang burungnya.
Kekayaan Major Jantje melimpah. Ia punya ratusan anak buah, pekerja rumah tangga, dan pengawal pribadi. Rumahnya besar dan megah, selalu ada pesta setiap malam minggu.
Acara yang paling ia senangi adalah dansa-dansa ala indo. Perpaduan musik dan tarian Sunda, Betawi, dan Belanda. Kelak kesenian ini dikenal dengan nama Tanjidor. Masih dikenal hingga kini sebagai musik rakyat Betawi.
Untuk mendukung biaya hidupnya, Major Jantje harus menyediakan sekitar 10 ton beras per bulan. Termasuk sekitar 100 kilo hanya untuk anjing-anjingnya. Semuanya berasal dari sarang burung walet.
Cinta Sejati Burung Walet
Sampai di sini kisah sarang burung walet begitu mengagumkan. Tapi, tunggu hingga kita memahami jeritan hati para burung walet yang dieksploitasi.
Kualitas sarang burung walet tidak seharusnya dilihat dari perspektif manusianya saja. Ada kandungan cerita tentang cinta sejati yang dramatik.
Sepasang burung walet punya komitmen cinta yang mengagumkan. Mereka tidak akan kawin sebelum punya rumah. Burung walet yang masih jomlo hanya akan terbang kesana kemari beserta rombongannya. Mereka bersama-sama mencari makan.
Sambil mencari makan, ternyata mereka telah memilih pasangannya. Alias cinta mereka memang telah ditakdirkan sejak lahir. Setelah mengikat janji suci, pasangan ini lantas mencari tempat ideal.
Pada saat malam menjelang, dengan liur dari sisa makanan, calon pasangan ini pun membangun sarang. Butuh waktu yang lama pula. Sedikit demi sedikit air liur dikucurkan membentuk benang halus yang dirangkai menjadi sarang yang kuat.