Ia adalah seorang pengusaha, juragan penerbit buku-buku Pendidikan di Bandung pada tahun 60an. Sesuai dengan profesi awalnya, seorang guru yang berdedikasi.
Ia juga adalah seorang penulis. Karyanya digunakan oleh sekolah-sekolah pemerintah di zamannya. Namun, sosok ini juga adalah wartawan investigasi. Kendati sederhana, aksesnya luar biasa. Hingga ke ring satu negeri Paman Sam.
Namanya Ujeng Suwargana alias Oey Eng Soe. Ia adalah seorang muslim yang anti komunis. (Catatan: Nama Oey Eng Soe masih disambigu). Â
Ujeng juga adalah sahabat kecil Jenderal A.H. Nasution. Mereka pernah bersama-sama bertugas di Divisi Siliwangi. Pangkat terakhir Ujeng adalah Mayor.
Namun, kecintannya terhadap literasi membuat Ujeng memilih untuk meninggalkan militer pada tahun 1950. Ia kemudian fokus sebagai guru dan penulis.
Mereka bertemu lagi pada saat Nasution telah menjadi orang nomer satu di Angkatan Darat. Sebagai sahabat lama, Ujeng juga mendapat cipratan rezeki. Status juragan buku ia dapatkan dari perusahaan percetakan Belanda yang dinasionalisasi.
Kedekatan Nasution dan Ujeng menciptakan hubungan timbal-balik. Ada ketergantungan di antara mereka. Saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
Motifnya pun bermacam-macam, mulai dari pertemanan, urusan kocek, lobi-lobi politik, hingga aksi spionase.
Untuk yang terakhir ini, masih menjadi misteri sejarah. Rosihan Anwar yang bersahabat dengannya, tidak sepenuhnya percaya akan kisah Ujeng yang konon sering keluar negeri untuk urusan "negara."
Namun, ada bukti lain yang mengatakan jika Ujeng memang adalah seorang spion dan diplomat Angkatan Darat tidak resmi.
Willem Oltmans, wartawan senior Belanda yang akrab dengan Soekarno yakin jika Ujeng bukan orang biasa. Ia memiliki beberapa agenda penting politik melawan Soekarno.
Dalam buku Bung Karno Sahabatku, Willems menyatakan jika ia mendengar  banyak berita tentang Ujeng yang sibuk wara-wiri ke Eropa Barat dan Amerika. Tujuannya untuk menggulingkan kekuasaan Soekarno.
Willems pernah bertemu langsung dengan Ujeng pada tahun 1961. Ia menggambarkan sahabat Nasution tersebut sebagai orang sipil yang tahu banyak tentang internal TNI AD.
Jika ditilik, cukup masuk akal. Ujeng adalah kawan dekat Nasution, dan ia juga terdaftar sebagai tenaga pengajar di empat Lembaga Pendidikan Angkatan Bersenjata TNI.
Namun, sang jurnalis senior ini sudah kadung curiga dengan peran Ujeng dalam rencana kudeta Soekarno. Kali kedua, mereka bertemu di Amerika Serikat pada tahun 1962.
Kala itu, isu Dewan Jenderal sudah dihembuskan oleh Ujeng. Tiga tahun sebelum pemberontakan G30S PKI terjadi. Ia bahkan dengan gamang menceritakan bahwa pada akhirnya, Nasution-lah yang direncanakan mengganti posisi Soekarno sebagai presiden.
Bahkan ada sebuah pernyataannya yang bikin Willem gerah; "Kami akan mengisolasi Soekarno dan membiarkannya layu seperti bunga yang tidak disiram."
Willem juga mengabarkan jika Ujeng adalah sosok yang terlalu sering mengunjungi parlemen Belanda dan juga wartawan. Isu tentang Dewan Jenderal dan rencana kudeta ia lontarkan dengan konsisten.
Ketika Willem bertanya mengenai waktu kudeta, Ujeng hanya menjawab singkat;Â "wait and see."
Willem masih antara percaya dan tidak percaya, hingga pemberontakan G30S PKI pun muncul di permukaan. Namun, ada yang meleset. Ternyata bukan Dewan Jenderal yang melakukan kudeta, tetapi merekalah yang menjadi korban.
Dugaan Willem, Ujeng bukan hanya spion, tetapi ia juga adalah False Whistle Blower (penyebar isu). Rencana kudeta djadikan pancingan kepada PKI untuk mengambil alih kekuasaan. Sementara militer AD-lah yang menjadi tokoh protagonisnya.
Jika strategi ini benar, maka kecanggihan konspirasi tingkat tinggi ini tidak main-main. Ujeng pun dihubungkan dengan CIA, badan intelijen Amerika yang digosipkan punya andil besar atas jatuhnya Soekarno.
Jadi, kesimpulannya, kemungkinan Ujeng adalah agen CIA yang meniupkan isu tentang Dewan Jenderal, untuk memancing PKI bertindak duluan. Tapi, sekali lagi ini hanyalah isu tak mendasar.
Tidak ada dokumentasi kedekatan Ujeng dengan CIA. Akan tetapi, Willem bisa menghubungkannya.
Pada tahun 1967, Elliot Haynes, ketua BIC (Business International Corporation) memberikan pernyataan di hadapan Nasution. Ia menyebutkan bahwa semua investasi Amerika ke Indonesia, harus melewati perantaraan Ujeng.
Pernyataan ini diduga semacam aksi balas jasa kepadanya dari pemerintah AS.
Ujeng tidak saja melakukan petualang berbahanya atas perintah petinggi TNI AD. Sebagai keturunan Tionghoa, sudah sejak lama ia mempelajari komunis. Namun, ia tidak setuju dengan ideologi tanah leluhurnya ini. Ujeng adalah seorang anti komunis.
Aksinya sebagai "duta besar" TNI juga bukan kali pertama. Dalam operasi Pembebasan Irian Barat, Nasution sudah pernah menggunakan jasa Ujeng.
Ia pernah dikirim ke Belanda untuk melobi tokoh berpengaruh di sana. Tujuannya untuk meminta dukungan dari dalam negeri untuk melawan kebijakan Belanda menguasai Papua.
Sebagai seorang sipil, Ujeng memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah bangsa ini.
Ujeng pernah diwawancarai oleh Harold Couch, seorang pakar militer dari Univesitas Nasional Australia pada tahun 1973. Ia menuturkan banyak hal tentang konflik internal TNI AD kepada Harold.
Atas informasi A1 yang didapatkan, Harold pun memberikan julukan kepada Ujeng; "Warga sipil yang bertugas di dinas rahasia militer Indonesia."
Ujeng meninggal pada 7 Mei 1979. Dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas jilid 5: Kenangan Masa Order Lama, Nasution menulis;
"Belum pernah ada tanda penghargaan dari pemerintah kepada Ujeng atas jasa-jasa yang ia lakukan dengan biaya sendiri," ungkap Nasution di depan jenasah Ujeng.
Catatan: Tulisan ini disadur dari beberapa sumber yang tertera pada Referensi. Darinya, ada beberapa versi yang berbeda. Jika ada tambahan atau sanggahan mengenai sepak terjang Ujeng Suwargana, silahkan ditambahkan pada kolom komentar.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H