Hasilnya, selama periode 1966-1969 negara tidak saja terselamatkan dari isu finansial, namun juga menumbuhkan pertumbuhan ekonomi melalui manufaktur dan agrikultur selama beberapa dasawarsa ke depan.
Salah satu  hasil pemikiran Mafia Berkeley adalah terciptanya sistem Ekonomi Pancasila (1966). Sistem ini menjamin kesetaraan stabilitas ekonomi bagi segala pihak. Bukan hanya pihak pelaku usaha, namun juga bagi pekerja dari segala lapisan masyarakat.
Semuanya berjalan lancar, hingga muncul-lah jargon Nasionalisme Ekonomi. Istilah ini disinggung oleh Goenawan Muhammad yang mengkritik praktik kong-kalikong dalam tubuh Pertamina yang dipimpin oleh Ibnu Soetowo pada periode 1970an.
Kasus Pertamina ini sendiri hanyalah sebuah contoh dengan kondisi bangsa yang terjadi pada awal 1970an. Kala itu, Soeharto telah terpilih menjadi presiden untuk kali kedua.
Pada periode ini, banyak perubahan terjadi pada tatanan Orde Baru. Salah satunya adalah visi militer yang lebih berperan dalam sektor sipil. Termasuk keterlibatan dalam bidang ekonomi. Dengan demikian, ekonomi Pancasila yang dicanangkan oleh para "mafia" tersebut, sedikit bergeser.
Bom Waktu Mafia Berkeley
Di sisi lain, ada juga "bom waktu" yang ditanamkan dengan kebijakan para Mafia Berkeley. Seiring dengan masuknya PMA, utang luar negeri, IGGI pun dibentuk.
IGGI adalah singkatan dari Inter-Government Group on Indonesia. Ia terdiri dari 13 negara yang tergabung dalam sebuah konsorsium pemberi pinjaman kepada Indonesia. Akibatnya, utang luar negeri Indonesia meningkat tajam dan membuat posisi tawar Indonesia lemah.
Hal ini membuat negara-negara pemberi pinjaman menuntut timbal balik dalam bentuk penguasaan sektor ekonomi dan industri strategis Indonesia. Akhirnya, perusahaan Indonesia tidak memiliki kedudukan yang setara. Mereka hanya bisa berfungsi sebagai pendamping perusahaan asing.
Pada saat David Ramson menelurkan teorinya tentang Mafia Berkeley pada 1970, kondisi Indonesia belum sepenuhnya dikuasai oleh "mafia" sesungguhnya.