Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Krisis Pawang Hujan, Jangan Sampai Punah

4 September 2021   04:41 Diperbarui: 4 September 2021   06:01 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia krisis pawang hujan (correcto.id)

Keberadaan pawang hujan bukan lagi hal yang aneh. Ia selalu hadir tidak resmi dalam berbagai acara resmi. Sosoknya biasanya menggunakan baju adat. Tapi, ada juga yang tampil biasa dengan kaos dan jin.

Cara kerjanya bukan menghentikan hujan. Itu adalah kuasa Tuhan, tidak patut dilanggar. Tapi, mereka bisa memindahkan awan yang mendatangkan hujan. Dan jika benar-benar tidak bisa digeser, maka ditahanlah selama mungkin.

Caranya?

Nuryanto alias Mbah Bejo mengatakan jika ia menggunakan bio-energi untuk memindahkan awan. Tidak harus berada di tempat, dari jarak jauh saja cukup.

Namun, tetap saja survei tempat harus dilakukan. Khususnya, ke arah manakah angin bertiup. Tujuannya agar tidak terlalu capek.

Secara umum teori kerja pawang hujan cukup masuk akal. Seperti mengatur arah angin, memindahkan awan, atau membuang uap air sebelum acara dimulai agar awan tidak terlalu berat. Semuanya ada secara ilmiah.

Namun, pawang hujan tidak menggunakan teknologi. Ia hanya perlu ilmu khusus.

Nah, survei tempat yang biasanya dilakukan Mbah Bejo ternyata juga berguna untuk sowan dan berkenalan dengan penunggu setempat. Konon ada mahluk yang mengendalikan air, angin, api, dan juga unsur lainnya.

"Pawang yang kredibel akan bekerja sama dengan penguasa air dan angin," pungkasnya kepada liputan6.com.

Bio-energi yang dimaksud oleh Mbah Bejo adalah menggunakan tenaga dalam untuk memanipulasi cuaca. Kemampuan ini disebut dengan telekinesis alias memindahkan sesuatu melalui pikiran.

Selain tenaga dalam, ada pula tenaga batin. Kekuatan ini diperoleh melalui doa atau pembacaan mantra sakti. Bisa pula diperkuat dengan beberapa ritual, seperti mutih, puasa ngableng, ngeluwang, dan sejenisnya.

Jika masih belum terasa cukup, bantuan dari mahluk gaib juga kadang dibutuhkan.

Tergantikan Teknologi

Pawang hujan memang adalah pekerjaan yang ada di antara ketiadaan. Sisi logika sulit untuk menerimanya, tapi ia kehadirannya kerap dibutuhkan. Pergeserannya dengan dunia ghoib yang masih membuat sebagian orang geleng-geleng kepala.

Tapi, apa yang terjadi jika seluruh teori dan kemampuan pawang hujan sudah bisa digantikan dengan teknologi?

Sebagian sudah. Adalah proses semai bahan natrium klorida (NaCl) yang sudah bisa dilakukan oleh manusia untuk menggeser hujan. Bahan yang juga bernama garam hujan ini tinggal ditabur di udara melalui pesawat terbang.

China bahkan sudah lebih canggih lagi. Ia sudah punya satelit yang mampu "membuat atau menghilangkan" hujan. Namanya juga keren. Tianhe alias Sungai Langit.

Satelit super canggih ini akan diluncurkan pertama kali pada 2022 mendatang. Cara kerjanya juga cukup sederhana. Mendeteksi air di udara yang basah dan memindahkan ke tempat kering yang butuh hujan. Tiada bedanya dengan pawang hujan, hanya saja lebih mahal!

Apakah tradisi Pawang Hujan akan hilang?

Satelit sudah semakin murah. Program luar angkasa yang dulunya hanya bisa direalisasikan oleh lembaga luar angkasa resmi negara, kini sudah menjadi mainan perusahaan swasta.

Jika Indonesia juga memiliki jenis satelit yang sama, maka eksistensi pawang hujan akan semakin terancam. Benarkah demikian?

Tidak juga.

Faktor budaya berlaku di sini. Sejak moyang masih ada, pawang hujan dan segala jenis lakunya sudah menjadi bagian dari budaya Nusantara.

Di Banyumas terdapat tradisi Cowongan. Merias batok kelapa layaknya boneka. Uniknya ritual ini hampir mirip dengan kebudayaan Jepang, Teru-Teru Bozu. Bentuknya adalah boneka kecil menyerupai biksu (buddha) yang digantung di jendela.

Di Banyuwangi ada ritual mantu kucing. Isinya doa-doa pemanggil hujan. Di Pemalang pada saat kemarau panjang, tarian Sintren pun dipentaskan. Di Purbalinga beda lagi. Proses pemanggilan hujannya bernama Unjungan.

Melebihi wilayah Nusantara, ada pula suku Pedi di Afrika Selatan. Mereka punya Moroka alias manusia dengan keahlian memanggil hujan.

Ada juga tradisi menggunakan benda-benda khusus untuk memanggil hujan. Tanduk khusus yang telah diberkati, jagung dan bir yang dipersembahkan, hingga batang sereh yang ditancapkan terbalik oleh seorang gadis perawan di Thailand.

Makna dari tradisi ini sebenarnya sangat sederhana. Apa pun modelnya, tujuannya adalah; berdoalah kepada yang Maha Kuasa agar hujan tidak datang menganggu.

Melebihi Ghoib

Oleh karenanya, posisi pawang hujan jamak mendapat terhormat pada kerajaan-kerajaan Nusantara zaman dulu. Fungsi mereka tidak hanya sebatas "mengusir hujan" untuk menyukseskan acara akbar. Mereka adalah para bijaksana yang menjadi inspirasi.

Kemampuan mereka juga tidak didapatkan dari akademi. Ada faktor DNA yang menyertai di sini. Mereka adalah orang-orang yang terpilih.

Kebijaksanaan mereka dilambangkan sebagai manusia yang sadar akan lingkungan. Bersahabat dengan alam, sehingga mampu berkomunikasi dengannya.

Tiada bedanya dengan doa khusyuk. Caranya saja yang mungkin berbeda dengan laku keyakinan saat ini, padahal tujuannya sama.

Mereka adalah pencinta damai dan juga pelaku sekaligus penjaga kelestarian alam pertiwi. Kemampuan mereka melihat tanda-tanda alam adalah wujud kepedulian terhadap pesan semesta.

Beberapa benda yang digunakan dalam prosesi adalah simbol alamiah. Misalkan sapu lidi sebagai bentuk menyapu keburukan dari dalam diri.

Cengkeh, cabai, beras, dan lain sebagainya digunakan sebagai sesajen. Itu adalah simbolisasi dari rasa syukur terhadap berkah Tuhan kepada umat manusia.

Tiada yang gaib, kecuali pandangan manusia modern. Otak yang semakin pendek akibat arus teknologi membuat segala jenis makna tradisi telah berubah menjadi hantu gentayangan di siang hari.

Pawang hujan dilirik secara parsial. Lekat dengan dunia klenik yang sudah seperti barang antik. Faktor budaya di balik eksistensi, tidak lagi mendapatkan tempat di sana-sini.

Atau mungkinkah gegara itu hingga bencana selalu datang menyerang? Dunia sudah krisis pawan hujan. Bukan sosok yang bisa mendatangkan atau menghalau hujan. Semuanya bisa digantikan dengan teknologi.

Tapi, yang dibutuhkan adalah figur yang bijaksana, yang bisa bersahabat dengan alam, yang paham akan keseimbangan semesta, dan mampu menjinakkan keganasan alam melalui perdamaian.

Semuanya ada pada diri seorang pawang hujan yang kini sudah hampir hilang tertelan bumi.

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun