Tidak juga.
Faktor budaya berlaku di sini. Sejak moyang masih ada, pawang hujan dan segala jenis lakunya sudah menjadi bagian dari budaya Nusantara.
Di Banyumas terdapat tradisi Cowongan. Merias batok kelapa layaknya boneka. Uniknya ritual ini hampir mirip dengan kebudayaan Jepang, Teru-Teru Bozu. Bentuknya adalah boneka kecil menyerupai biksu (buddha) yang digantung di jendela.
Di Banyuwangi ada ritual mantu kucing. Isinya doa-doa pemanggil hujan. Di Pemalang pada saat kemarau panjang, tarian Sintren pun dipentaskan. Di Purbalinga beda lagi. Proses pemanggilan hujannya bernama Unjungan.
Melebihi wilayah Nusantara, ada pula suku Pedi di Afrika Selatan. Mereka punya Moroka alias manusia dengan keahlian memanggil hujan.
Ada juga tradisi menggunakan benda-benda khusus untuk memanggil hujan. Tanduk khusus yang telah diberkati, jagung dan bir yang dipersembahkan, hingga batang sereh yang ditancapkan terbalik oleh seorang gadis perawan di Thailand.
Makna dari tradisi ini sebenarnya sangat sederhana. Apa pun modelnya, tujuannya adalah; berdoalah kepada yang Maha Kuasa agar hujan tidak datang menganggu.
Melebihi Ghoib
Oleh karenanya, posisi pawang hujan jamak mendapat terhormat pada kerajaan-kerajaan Nusantara zaman dulu. Fungsi mereka tidak hanya sebatas "mengusir hujan" untuk menyukseskan acara akbar. Mereka adalah para bijaksana yang menjadi inspirasi.
Kemampuan mereka juga tidak didapatkan dari akademi. Ada faktor DNA yang menyertai di sini. Mereka adalah orang-orang yang terpilih.
Kebijaksanaan mereka dilambangkan sebagai manusia yang sadar akan lingkungan. Bersahabat dengan alam, sehingga mampu berkomunikasi dengannya.