Tiada bedanya dengan doa khusyuk. Caranya saja yang mungkin berbeda dengan laku keyakinan saat ini, padahal tujuannya sama.
Mereka adalah pencinta damai dan juga pelaku sekaligus penjaga kelestarian alam pertiwi. Kemampuan mereka melihat tanda-tanda alam adalah wujud kepedulian terhadap pesan semesta.
Beberapa benda yang digunakan dalam prosesi adalah simbol alamiah. Misalkan sapu lidi sebagai bentuk menyapu keburukan dari dalam diri.
Cengkeh, cabai, beras, dan lain sebagainya digunakan sebagai sesajen. Itu adalah simbolisasi dari rasa syukur terhadap berkah Tuhan kepada umat manusia.
Tiada yang gaib, kecuali pandangan manusia modern. Otak yang semakin pendek akibat arus teknologi membuat segala jenis makna tradisi telah berubah menjadi hantu gentayangan di siang hari.
Pawang hujan dilirik secara parsial. Lekat dengan dunia klenik yang sudah seperti barang antik. Faktor budaya di balik eksistensi, tidak lagi mendapatkan tempat di sana-sini.
Atau mungkinkah gegara itu hingga bencana selalu datang menyerang? Dunia sudah krisis pawan hujan. Bukan sosok yang bisa mendatangkan atau menghalau hujan. Semuanya bisa digantikan dengan teknologi.
Tapi, yang dibutuhkan adalah figur yang bijaksana, yang bisa bersahabat dengan alam, yang paham akan keseimbangan semesta, dan mampu menjinakkan keganasan alam melalui perdamaian.
Semuanya ada pada diri seorang pawang hujan yang kini sudah hampir hilang tertelan bumi.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI