Baliho tetap menjadi pilihan utama. Berada di pusat kota hingga ke pelosok desa. Untuk itulah, Suyanto ingin jadi calon legislatif.
Slogannya? Sederhana; Cukup nama lengkap diri beserta gelar akademik-nya. Tak lupa jargon, "Gue aja bisa, Loe bisa apa?"Â Dikirim ke grup bersama.
Dana pun diitung, Suyanto tidak pelit, ia hanya suka irit.
Sekitar 30 lokasi strategis dalam kota Makassar telah ditandainya. Dana yang dikeluarkan pun sangat murah. Hanya seharga balok kayu, kain cetakan, dan ongkos cetak.
Tidak heran jika ia marah besar, ketika teman sejawatnya menelurkan angka miliaran. Ternyata Suyanto lupa jika ada pajak penyerta. Hitungannya pun tidak kecil. Berdasarkan NJOP lokasi, lama pemasangan, dan ukuran.
Itu pun belum termasuk proses pemasangan yang melibatkan pihak ketiga. Kaum elit pula, sesama simpatisan partai.
Suyanto tidak terima. Bagaimana mungkin modal cekek bisa seharga milaran? Ia pun menelurkan idealismenya;
"Saya tidak setuju uang rakyat dibuang-buang demi wajah yang terpampang di jalan!"Â Betapa mulianya.
Suyanto memberikan contoh. Ia tidak pernah menarik pajak bagi dirinya sendiri untuk semua foto iklan dirinya yang terpajang di tokonya.
Oh ya, tidak lupa juga; "Gue aja bisa, Loe bisa apa?" Dikirim ke grup bersama.
Tapi, para pendukungnya tak kehilangan akal; "Di sanalah isu yang bapak harus perjuangkan." Â