Apa pun itu, demikianlah yang terjadi...
Kembali kepada Jaya Suprana dan Hoax Kematiannya. Saya sih tidak pernah bertemu dengan beliau, meskipun bergelar sebagai pemegang rekor MURI.
Lantas pagi ini saya kembali mendapatkan kiriman dari mamanya Jesslyn. Terkait pengakuan Jaya Suprana di Kompas.com.
Ternyata beliau mengatakan jika ia sudah dua kali "mati" dalam kurun waktu sebulan saja. (Yang pertama pada tanggal 07 Juli 2021).
Menurut Jaya, pemberitaan ini punya keuntungan. Orang yang sudah benar-benar mati tentu tidak bisa merasakan empati dari kawan-kawan sekitar.
Sementara sang maestro yang masih hidup ini bisa merasakan kesedihan yang terjadi. Siapa sih yang benar-benar nangis, dan siapa yang merasa senang karena utangnya bisa dilupakan.
Pun halnya dengan kawan-kawan yang benar termakan hoax. Tentunya sedih akan datang menyelimuti. Setelah ketahuan orangnya masih hidup, bertambahlah rasa sayangnya.
Dengan demikian, maka doa panjang umur akan dipanjatkan. Lagi-lagi, malaikat pencabut nyawa serasa dighosting.
Nah, bagaimana dengan penyebar berita hoax? Baik yang memulai maupun yang mengahiri. Malumologi bisa jadi istilah. Tidak perlu IQ setinggi Habibie; Malulah kalau ketahuan boong.
Sebagaimana jawaban kawan saya, ketika saya membalasnya dengan menjelaskan kehoaxan berita.
"Ya, makanya saya tanyakeun..." Balasnya. Untuk yang satu ini, kelirumologi, alasanologi, dan malumologi bercampur jadi satu.