Daftar orang terkaya 2021 telah dirilis Forbes. Jeff Bezos yang biasanya berjaya sudah tidak bertaji lagi. Penggantinya adalah Bernard Arnault.
Meski namanya masih terdengar asing, Anda minimal pernah mendengar Louis Vuitton (LV). Produsen tas terkenal dengan harga yang mahal.
Dilansir dari sumber (kontan.co.id), kekayaan Arnault gegara harga saham perusahaannya (LVMH) naik 0,4%. Jumlah saham pribadi Arnault langsung naik lebih dari 600 juta dollar Amerika.
Tas mahal punya istilah, Tas Branded biasa disebutkan.
Di zaman Corona, masih adakah yang beli tas branded? Itulah yang muncul di benak teratas saya pada saat membaca berita ini.
Ternyata, masuk akal. Secara internal, ada beberapa langkah brilian yang dibuat oleh Arnault.
Yang pertama adalah mengakuisisi perusahaan perhiasan Tiffany & Co pada Januari 2021. Langkah kedua adalah mempromosikan putranya yang baru berusia 29 tahun sebagai pimpinan di sana.
Ternyata pasar merespons positif. Harga saham LVMHÂ pun naik.
Namun, tentu langkah strategis tidak cukup. Seharusnya ada juga peningkatan permintaan di pasar. Nyatanya, memang melonjak.
Tahun 2019-2020, sektor barang mewah dilanda dua badai besar. 1) industri wisata yang mengering, dan 2) China sebagai konsumen terbesar sedang dalam pemulihan ekonomi.
Hanya dibutuhkan kurang dari setahun bagi China untuk memulihkan ekonominya.Â
Pada akhir Juli 2021, LVMHÂ membukukan keuntungan terbesar dalam dua tahun. Naik 44% dari 2019, dan empat kali lipat perolehan 2020.
Dari sini dapat juga dilihat bahwa pandemi tidak melulu soal ekonomi. Ternyata orang-orang super kaya menjadi semakin kaya. Pundi-pundi mereka meningkat sebesar 431 triliun dollar Amerika.
Menurut Boston Consulting Group (BCG), ada 6.000 individu superkaya baru selama masa pandemi. Mereka memegang 15% dari total kekayaan dunia. Angka ini naik 3% dari musim 2019 lalu.
Hingga di sini, semoga semuanya cukup jelas. Tapi, ada sebuah pertanyaan sederhana.
Mengapa sebuah tas branded bisa dinilai segitu mahalnya.
Mari kita mulai dari kata mahal. "Mahal" disini tentu memiliki kemampuan finansial yang mumpuni. Jika mampu dibeli oleh mayoritas orang, maka itu bukanlah "mahal."
Saya punya kisah untuk menggambarkan hal ini. Dalam perjalanan tur ke Amerika, seorang kawan bergegas masuk ke butik Hermes di New York. Dia memperlihatkan tangkapan layar dari hapenya.
Tak pakai lama, sebuah tas Hermes baru pun keluar dari etalase. Namun, sang kawan ini tidak langsung bertransaksi. Ia mau keliling-keliling toko dulu.
Seorang teman tur, ibu-ibu paruh baya juga tergila-gila dengan Hermes. Ia melihat tas yang sudah dipesan oleh sang sahabat. Tidak pakai lama, ia pun membayar tas seharga yang tertera.
Si pegawai toko mengira mereka adalah keluarga. Ketika sahabat saya ingin bertransaksi, ia kaget jika ternyata tas tersebut telah dibeli oleh sang ibu.
Si ibu paruh baya ini pun tak mau kalah. Ia bersikeras jika sudah membayar.Â
Ribut dalam toko sudah pasti. Untungnya ada teman yang beraksi. Sang ibu pun akhirnya mau mengerti.
Ternyata kawan saya sudah memesannya sekian bulan yang lalu via online. Tas yang diperebutkan, harganya 1 miliar rupiah. Luar Biasa!
Pasokan vs Permintaan
Dengan demikian "mahal" bukan hanya soal harga, tapi juga citra (image). Harga 1M yang dibeli kawan bukanlah seri "termahalnya."
Adalah sebuah tas jenis Birkin. Ia dibuat dalam balutan 100% platinum. Ternyata masih kurang "mahal." Ditambah pula 2.000 butir berlian dengan total 8 karat.
Harganya pun jadi "mahal." Hanya sekitar 26 miliar rupiah saja!
Mungkin sebagian orang menganggapnya gila. Mungkin juga masih banyak yang punya 26 miliar. Tapi, mereka lebih senang membeli produk investasi atau rumah.
Itulah yang membedakan. Punya duit tidak sama dengan rela membeli tas seharga 26 miliar.
Dari sini saja kelasnya sudah kelihatan. Itulah sasaran pasar tas branded. Jumlah pasokan pun dibuat terbatas. Konon beberapa edisi khusus sampai harus menunggu 6 tahun lamanya.
Kualitas
Tentu barang yang mahal ada kualitasnya. Tas branded biasanya menggunakan bahan-bahan kelas satu. Kulit sapi sudah biasa. Bagaimana dengan kulit buaya, kadal, hingga burung unta? Jelas bedalah.
Selain itu, sebuah tas dibuat 90% oleh tangan manusia. Tas Hermes yang seharga puluhan juta saja konon membutuhkan 48 jam dalam pembuatan. Itu pun harus di tangan ahli bersertifikat. Gajinya saja sudah berapa.
Belum lagi keterlibatan desainer kelas dunia. Birkin 26M tersebut adalah buatan seorang desainer dari Jepang. Membelinya serasa membayar harga lukisan ternama.
Jangan lupa aksesorisnya. Emas 24 karat, berlian, permata, hingga gading gajah. Sisa bilang, semuanya ada.
Tidak pernah Diskon
Produk tertinggal di toko. Tidak apa-apa. Tidak ada batas kadaluarsa. Tapi kalau sudah ketinggalan model, bisa saja diobral bukan?
Tapi, tidak bagi sebagian jenis tas branded. Andaikan ada kesalahan produksi atau sudah ketinggalan model. Cukup dimusnahkan. Dengan demikian, kestabilan harga tetap terjamin.
Investasi
Karena kualitasnya yang bagus dan pasokannya yang terbatas, jadilah tas branded sebagai ajang investasi. Konon dalam 35 tahun harganya bisa naik 500%.
Sebuah seri khusus tas Louis Vuitton (LV) baru-baru ini dilaporkan terjual seharga 9,6 juta dollar Amerika. Satu dekade sebelumnya, harganya hanyalah 55.000 usd saja. Sila dihitung sendiri peningkatan investasinya.
Semakin mahal, harganya semakin berharga. Tiada bedanya dengan harga barang seni lainnya.
Tiruan
Saya yang bloon pernah bertanya. Mengapa tidak membeli tiruan saja? Toh bukan untuk dagang kan?
Seorang sahabat menjawab pertanyaan saya dengan pengalamannya. Suatu hari ia di Paris. Di sana ia berbelanja di toko LV. Ketika hendak membayar, ia pun mengeluarkan dompetnya.
Penjaga toko pun bertanya, "Anda beli dompet itu di mana?"
Kawan saya menjawab, "pemberian kawan di hari ulangtahun saya."
Sang penjaga toko yang awalnya ramah pun berubah marah. "Anda bisa menyerahkan dompet itu sekarang pada saya, atau silahkan keluar dari sini."
Teman yang masih terbengong-bengong akhirnya membeli sebuah dompet baru dengan model yang sama. Untung saja ia tajir.
Tas branded sering ditiru. Salah satu sebabnya karena produk ini tidak sedinamis produk elektronik. Dua puluh tahun kemudian, barang yang sama masih ada di toko.
Dalam kasus LV, model 150 tahun silam bahkan belum kelihatan kuno.
Memang aksi imitasi merugikan, tapi LV sepertinya tidak terlalu peduli.
Beredarnya barang palsu dianggap semacam promosi baginya. Semakin banyak yang menggunakannya, semakin banyak yang mengenal model tasnya.
Toh para pengguna barang palsu juga tidak masuk dalam daftar pelanggannya.
Selain itu kaum superkaya juga tidak peduli. Para pengguna tas palsu dianggap tidak selevel. Kendati susah dibedakan secara kasat mata, tetap saja ada perbedaan kelas.
Mau tahu nilai pasar tas branded dan segala turunannya?
Pada tahun 2018, jumlahnya 115M dollar Amerika. Sepertiganya berasal dari pembeli China. Harga di sana pun lebih mahal 21%, tetapi sepertinya Para Mu-Khi-Di tidak peduli.
Oh ya, Harga tas Hermes Berkin seharga 26M rupiah bukanlah yang termahal lho. Masih ada buatan perancang busana Debbie Wingham asal Inggris. Tas tersebut dirancang atas permintaan seorang pelanggan di Amerika.
Harganya sekitar 94 miliar rupiah!
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H