Seorang sahabat menjawab pertanyaan saya dengan pengalamannya. Suatu hari ia di Paris. Di sana ia berbelanja di toko LV. Ketika hendak membayar, ia pun mengeluarkan dompetnya.
Penjaga toko pun bertanya, "Anda beli dompet itu di mana?"
Kawan saya menjawab, "pemberian kawan di hari ulangtahun saya."
Sang penjaga toko yang awalnya ramah pun berubah marah. "Anda bisa menyerahkan dompet itu sekarang pada saya, atau silahkan keluar dari sini."
Teman yang masih terbengong-bengong akhirnya membeli sebuah dompet baru dengan model yang sama. Untung saja ia tajir.
Tas branded sering ditiru. Salah satu sebabnya karena produk ini tidak sedinamis produk elektronik. Dua puluh tahun kemudian, barang yang sama masih ada di toko.
Dalam kasus LV, model 150 tahun silam bahkan belum kelihatan kuno.
Memang aksi imitasi merugikan, tapi LV sepertinya tidak terlalu peduli.
Beredarnya barang palsu dianggap semacam promosi baginya. Semakin banyak yang menggunakannya, semakin banyak yang mengenal model tasnya.
Toh para pengguna barang palsu juga tidak masuk dalam daftar pelanggannya.
Selain itu kaum superkaya juga tidak peduli. Para pengguna tas palsu dianggap tidak selevel. Kendati susah dibedakan secara kasat mata, tetap saja ada perbedaan kelas.