Setelah batal, Akidi pun pergi entah kemana. Ayong tidak lagi mendengar kabarnya.
Saya pun berpikiran aneh. Apakah uang yang ia sediakan untuk membangun mal itulah yang ia sumbangkan? Walahuallam, tidak ingin berkomentar lagi.
Jadi ingat Mukidi.Â
Tokoh fiktif ini dulunya sering datang hinggap di medsos saya. Ia mewakili warga +62 dalam bentuk sosok serba bisa.
Kadang kasar, kadang pula sopan. Kadang mengharukan, meski sering tampil menjengkelkan. Kadang pintar, tapi tidak jarang pula bodoh.
Semuanya tergantung dari isi kepala. Mukidi bisa tampil seperti siapa saja, apa saja, dan bagaimana saja. Tergantung dari panggung sandiwara yang ingin dikreasikan.
Kita semua adalah Mukidi. Dibutuhkan pada saat tidak diperlukan. Menghantar tawa di tengah kesedihan, dan menghantar duka di tengah rasa senang.
Yang membedakannya dengan Akidi, adalah; kita tidak punya uang sebesar 2 triliun, tapi itu tidak penting...
Tapi, masihkah kita memiliki ketulusan dan keseriusan dalam memperbaiki kondisi bangsa yang masih terpuruk?
SalamAngka