Kesan yang saya dapatkan dari beliau adalah semangatnya yang menggebu-gebu dan tutur katanya yang teratur, dan selalu enak didengar. Mungkin itulah yang membuat ia selalu tampak sehat dan tidak pernah kelihatan lelah.
Tidak ada pembicaraan yang terlalu serius. Hanya menikmati makan siang dan kudapan khas Makassar. Namun, ada sekilas pesan yang sempat saya rekam dalam ingatan.
Ia mengatakan jika di setiap masa, akan muncul sesosok pemimpin yang menangani masalah yang dihadapi bangsa ini.
Dalam hal ini, ia merujuk kepada hak politik orang Tionghoa. Saat itu pembicaraan juga banyak mengarah ke kiprah Ahok yang sedang bertugas di DKI. Namun, untuk alasan tertentu, saya tidak menuliskan isu yang sedang dibahas.
Saya tak menyangka jika dua tahun kemudian, Christianto terjun ke dunia politik. Ia mencalonkan diri sebagai legislatif dari PSI besutan Grace Natalie.
**
Berpuluh-puluh tahun yang lalu, saya pertama kali mengenal Christianto Wibisono sebagai kolumnis ekonomi Indonesia. Tulisannya bertebaran di media besar, seperti Kompas dan Suara Pembaruan.
Ia setara dengan Kwik Kian Gie, meskipun pandangan ekonomi dan politiknya kala itu agak sedikit berbeda.
Bisa dimaklumi. Christianto adalah lulusan aktivis 66. Ia "tumbuh" di jalan dan aktif menyerukan suaranya untuk Indonesia yang lebih baik. Sementara Kwik Kian Gie sendiri adalah seorang akademisi yang juga pelaku bisnis.
Pria yang bernama asli Oey Kian Kok ini lahir di Semarang pada tanggal 10 April 1945. Awal karirnya adalah menjadi penulis pada surat kabar Harian KAMI yang diterbitkan oleh Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada tahun 1966.
Pada tahun 1971, bersama Gunawan Muhammad, ia mendirikan Mingguan Ekspress yang kemudian berubah menjadi majalah Tempo.