Berita duka datang dari Jakarta. Hari ini, Kamis 22.07.2021, pukul 17.05, ekonom senior RI, Christianto Wibisono meninggal dunia.
Astrid Wibisono, putri Christianto yang juga news anchor KompasTV, mengumumkan kematian sang maestro itu lewat akun medsosnya.
"Dengan duka yang terdalam, namun dalam kekuatan paling surgawi, kami sekeluarga mengumumkan wafatnya Christianto Wibisono, pada pukul 17:05 pada tanggal 22 Juli 2021, satu hari menjelang Hari Ulang Tahun Pernikahannya yang ke-50."Â
Dalam unggahan tersebut, Astrid juga mengungkapkan rasa cinta ayahnya terhadap Indonesia. Christianto disebut menginginkan agar Indonesia dapat Bersatu dalam iman, harapan, dan cinta, dalam memerangi Covid-19.
"Istirahat Dalam Damai, Christianto Wibisono," Astrid mengakhiri unggahannya.
Berita duka cita ini saya dapatkan pertama kali dari grup medsos Keluarga INTI (Indonesia Tionghoa) Nasional. Beliau adalah salah satu Dewan Pakar.
Saya sendiri pernah dua kali bertemu dengan Om Chris, demikian aku memanggilnya. Yang pertama sewaktu di Jakarta tahun 2016. Cukup singkat, hanya berpapasan dan berjabat tangan.
Yang kedua sewaktu beliau hadir di Makassar pada tahun 2017 dalam acara Dialog Kebangsaan yang diselenggarakan oleh PD. INTI Sulsel. Dua narasumber lainnya lagi adalah dr. Lie Dharmawan (Doctorshare) dan Iwan Santosa (jurnalis senior).
Baca juga:Â RS. Apung Doctorshare Karam, Inilah Kisah Inspiratif dr. Lie Dharmawan
Pada pertemuan kedua ini, waktu pertemuan saya dengan Om Chris cukup lama. Kami makan siang bersama dan lanjut dengan ngobrol-ngobrol santai di lobi Sekretariat INTI Sulsel, Hotel Makassar Golden, Makassar.
Kesan yang saya dapatkan dari beliau adalah semangatnya yang menggebu-gebu dan tutur katanya yang teratur, dan selalu enak didengar. Mungkin itulah yang membuat ia selalu tampak sehat dan tidak pernah kelihatan lelah.
Tidak ada pembicaraan yang terlalu serius. Hanya menikmati makan siang dan kudapan khas Makassar. Namun, ada sekilas pesan yang sempat saya rekam dalam ingatan.
Ia mengatakan jika di setiap masa, akan muncul sesosok pemimpin yang menangani masalah yang dihadapi bangsa ini.
Dalam hal ini, ia merujuk kepada hak politik orang Tionghoa. Saat itu pembicaraan juga banyak mengarah ke kiprah Ahok yang sedang bertugas di DKI. Namun, untuk alasan tertentu, saya tidak menuliskan isu yang sedang dibahas.
Saya tak menyangka jika dua tahun kemudian, Christianto terjun ke dunia politik. Ia mencalonkan diri sebagai legislatif dari PSI besutan Grace Natalie.
**
Berpuluh-puluh tahun yang lalu, saya pertama kali mengenal Christianto Wibisono sebagai kolumnis ekonomi Indonesia. Tulisannya bertebaran di media besar, seperti Kompas dan Suara Pembaruan.
Ia setara dengan Kwik Kian Gie, meskipun pandangan ekonomi dan politiknya kala itu agak sedikit berbeda.
Bisa dimaklumi. Christianto adalah lulusan aktivis 66. Ia "tumbuh" di jalan dan aktif menyerukan suaranya untuk Indonesia yang lebih baik. Sementara Kwik Kian Gie sendiri adalah seorang akademisi yang juga pelaku bisnis.
Pria yang bernama asli Oey Kian Kok ini lahir di Semarang pada tanggal 10 April 1945. Awal karirnya adalah menjadi penulis pada surat kabar Harian KAMI yang diterbitkan oleh Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI) pada tahun 1966.
Pada tahun 1971, bersama Gunawan Muhammad, ia mendirikan Mingguan Ekspress yang kemudian berubah menjadi majalah Tempo.
Namun, di antara semua karirnya, pria lulusan Universitas Indonesia ini lebih dikenal sebagai pendiri lembaga Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI). Di zamannya, PDBIÂ adalah sebuah lembaga analisis ekonomi yang cukup kredibel.
Ia juga penulis buku. Di antara hasil karyanya adalah; Gerhana Hati Nurani (2012), Jangan Pernah jadi Malaikat (2010), dan yang paling fenomenal adalah Wawancara Imajiner dengan Bung Karno (1977).
Buku Wawancara Imajiner dengan Bung Karno akhirnya dibredel, karena menyinggung tentang undang-undang anti monopoli dan mengusulkan masa jabatan presiden dua periode. Sesuatu yang kemudian dipraktekkan 30 tahun kemudian.  Â
Di era Soeharto, ia dikenal sebagai pengamat ekonomi yang dekat dengan kekuasaan. Hal itu tidak jauh dari karir politik pertamanya. Christianto pernah menjadi Asisten Pribadi Wapres Adam Malik (1978-1983).
Kendati demikian, hubungannya dengan pemerintah juga kerap kali mengalami pasang surut. Suatu waktu pemikirannya sangat dibutuhkan untuk kemajuan ekonomi Indonesia. Di sisi lain, ia sering mengkritisi kebijakan Soeharto yang terkesan KKN.
Christianto juga dekat dengan beberapa pengusaha konglomerat terkenal di era Soeharto. Pemikiran-pemikirannya sering diakomodasi oleh pelaku bisnis era Orde Lama.
Mungkin hal tersebutlah yang membuat ia menjadi sasaran kebrutalan tragedi 1998. Rumah putri sulungnya, Yasmin, di Kawasan Pantai Indah Kapuk, diserang, dijarah, dan dibakar oleh sekelompok massa tak dikenal.
Ditenggarai penyerangan ke rumahnya dilakukan secara terorganisir. Yasmin sangat terpukul. Pada saat itu ia memiliki seorang putra yang baru berumur 1,5 tahun dan seorang bayi yang baru berusia beberapa bulan.
Setelah kejadian tersebut, Christianto bahkan menerima surat kaleng yang berisikan ancaman dan pelecehan bernada SARA.
Christianto jelas kecewa berat. Baginya, usahanya untuk turut membangun negeri tercintanya ini tidak sepadan dengan tindakan rasis yang ia terima dari bangsanya sendiri.
Atas trauma yang ia alami, Christianto sempat hijrah ke Washington D.C., Amerika Serikat bersama keluarganya pada tahun 1998. Selama di Amerika, Christianto masih sering menulis tentang kondisi politik dan ekonomi Indonesia.
Ia kembali ke Indonesia pada tahun 2006 dan menjadi anggota Komite Ekonomi Nasional era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. (2007-2010).
Walaupun perlakukan tidak adil ia terima, tak sekali pun Christianto membenci Indonesia. Ia selalu bisa melunakkan orang-orang terdekatnya bahwa sikap rasialis itu terjadi di mana-mana.
Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa kejadian sejak era kolonial. Itu adalah bagian dari resiko berbangsa. "Ya, sudah, hadapi saja dengan iman." Pungkas Christianto dikutip dari sumber (idntimes.com).
Semenjak pulang kembali ke Indonesia, Christianto tidak lagi terlalu aktif dalam pekerjaannya selaku pengamat ekonomi. Namun, hasil pemikirannya masih sering dikejar terkait dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi.
Salah satu yang saya ingat adalah ujarannya tentang titik-titik penting kebijakan ekonomi di Indonesia (2019). Menurutnya, Indonesia harus sangat serius dalam memberantas korupsi.
Ia tidak ingin kesalahan Orde Baru selama 32 tahun berkuasa, terulang kembali. Setelah 20 tahun reformasi, harusnya Indonesia sudah mampu mendapatkan momentumnya untuk kembali berjaya.
**
Saya pernah bertemu dua kali dengan Om Chris, demikian saya memanggilnya. Pembicaraan tidak terlalu serius. Terkesan santai dengan makanan dan kudapan khas Makassar.
Namun, saya bersyukur bisa duduk semeja dengannya. Meluangkan waktu yang singkat tidak akan pernah hilang dalam kehidupan yang singkat ini.
"Indonesia butuh warga bangsa yang punya integritas dan kemampuan menegakkan identitas,"Â demikian ujar Om Chris.
Selamat Jalan, Om Chris...
Beristirahatlah dengan tenang di sisi Bapa di Surga. Semoga engkau damai di sana. Rasa cintamu terhadap Indonesia tidak akan pernah hilang. Akan selalu kujadikan panutan, kini hingga akhir hayat hidupku nanti.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI