Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lelucon Seks, Jangan karena Refleks, Semuanya Jadi Kompleks

9 Juli 2021   05:46 Diperbarui: 9 Juli 2021   06:00 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelucon Seks, Jangan Karena Refleks Menjadi Kompleks (bestfitonline.com)

Humor memang adalah salah satu bentuk komunikasi yang paling sadis. Sejahat apa pun kontennya, tidak ada yang boleh marah. Sebabnya ia hanyalah guyonan.

Ia bak pedang bermata dua, dapat merekatkan diri atau malah menciptakan musuh abadi. Ia dapat membuat orang lain terbahak-bahak, tetapi juga bisa jadi perseturuan berbabak-babak.

Oleh sebab itu, bagi yang suka guyon, sebaiknya menjaga diri tetap sadar. Ada beberapa aturan tidak tertulis tentang guyonan. Tidak perlu diuraikan, tersebab semuanya sudah diarahkan dengan nurani.

Satu yang pasti, jangan sampai humor menyinggung perasaan orang lain.

Sebagai contoh, menjadikan penderitaan orang lain sebagai hiburan, anggota tubuh sebagai bahan lelucon, hingga menertawakan anggota keluarga.

Nah, apakah lelucon tentang seks juga termasuk? Ini adalah pertanyaan gampang-gampang susah.

Akhir-akhir ini pembaca sering mendapatkan tulisan saya dan Engkong Felix bersahut-sahutan di Kompasiana. Sebagai penggiat Kamasutra dan penyuka lelucon, Anda mungkin bisa menduga seperti apakah model lelucon yang beredar.

Namun, jika Anda jeli, sebenarnya saya dan Engkong Felix punya satu persamaan, sama-sama memiliki satu aturan baku, yakni;

Pantang menganggit nama Kompasianer wanita sebagai sebagai objek lelucon seksual.

Oke, itu di Kompasiana, media sosial dengan jutaan penggiat literasi sosial. Bagaimana dengan kenyataan hidup sehari-hari?

Para lelaki memang adalah makhluk brutal. Tidak tahan dengan bening-bening, membuat segala hal bisa terasa lumrah. Seks pun marak beredar sebagai bagian dari lelucon dalam kancah pergaulan.

Masalahnya, tidak ada larangan bagi kaum hawa untuk berkecimpung di sana. Jika memang sudah demikian adanya, maka akan ada dua kemungkinan yang terjadi;

Yang antipati dan yang terbahak-bahak pasti

Para pria mungkin berpikiran bahwa mereka yang termasuk dalam kategori kedua adalah seorang wanita yang berpikiran terbuka, dan menganggap bahwa lelucon seksual bukanlah hal yang tabu.

Tapi, dari sinilah masalah sering timbul.

Sebutkanlah Juli (nama samaran). Ia adalah wanita dengan pikiran terbuka. Suaminya bule dan pernah sepuluh tahun tinggal di Amerika sebelum hijrah ke Singapura.

Juli adalah kawan SMA saya. Pernah suatu waktu ia kembali ke kampung halaman untuk acara reunian. Di sana ia berkesempatan bertemu kawan-kawan lama yang sudah puluhan tahun tak berjumpa.

Juli ini orangnya sigap. Segala jenis guyonan ia ladeni, termasuk lelucon seks dengan para lelaki. Namun, semuanya ambyar ketika salah seorang kawan keseleo lidah.

Ia menertawakan Juli sebagai seorang wanita yang suka dengan otong besar, terkait kenyataan bahwa suaminya bule.

Sang kawan yang naif juga membandingkan Juli dengan para wanita bule yang suka gonta-ganti pasangan. Belum lagi selesai urusannya, sang kawan lalu menaksir takaran dada si Juli.

Sontak, lelucon yang seharusnya ditertawakan menjadi buyar. Juli marah besar, dan pergi meninggalkan acara tanpa pernah kembali lagi.

Nah, apakah yang terjadi?

Atas dasar pertemanan, lelucon kadang keluar bak air dari waduk yang bocor. Bisa menimbulkan kepanikan dan bahaya bagi seisi penduduk kampung. Pun halnya dengan si kawan yang nyata-nyata bersalah.

Bagaimana kita seharusnya menyikapi?

Pertama; Sebisanya Dihindari

Bagi saya sendiri, sebisanya hindari guyonan seks dengan kaum hawa. Tersebab kita berada di Indonesia, dimana budaya patriarki dan aksi feminisme belum juga saling berjabat tangan.

Masyarakat Indonesia masih berjibaku dengan budaya patriarki. Baik pria maupun wanita Indonesia belum terlalu melek dengan masalah kesetaraan gender. Istri wajib memenuhi syarat dan hasrat lelaki, sementara para gadis masih harus menjadikan selaput dara sebagai standar kehormatan.

Pun demikian dengan nilai sebuah candaan. Menjadikan wanita sebagai objek seksual akan terasa tidak nyaman untuk standar umum orang Indonesia.

Sebaliknya, para wanita yang menjadikan objek seksual sebagai bahan lelucon, akan dianggap sebagai tidak pantas dan merendahkan.

Kedua; Jangan Mengomentari Fisik dan Kehidupan Pribadinya

Otak si kawan jelas masih terisi nilai patriarki. Ia dengan gamang menjadikan Juli sebagai bahan tertawaan. Sesuatu hal yang ia anggap lumrah jika bercanda dengan sesama lelaki.

Kendati si Juli telah berpikiran terbuka, ia tidak seharusnya dijadikan objek lelucon. Bagi saya, Juli memang senang dengan lelucon seks, tapi bukan tentang fisik dan kehidupan pribadinya.

Ketiga; Pahami konteks seksual antara pria dan wanita

Jika sampai lelucon seks telah beredar di tempat yang ada wanitanya, janganlah jadikan wanita sebagai objek lelucon seksual. Anda akan susah untuk membedakan candaan dan pelecehan.

Dalam candaan seksual, pria lebih sering berbicara terbuka, apa adanya, dan cenderung vulgar. Sementara wanita lebih suka menilik perangai unik, seperti anak puber yang ngebet, atau suami yang lugu di malam pertama.

Bayangkan jika kedua hal ini dicampur untuk sebuah subjek yang sama. Pria mungkin tidak merasa asyik, sementara wanita mungkin akan menjadi sensi. Kesalahpahaman akan sangat mudah terjadi.

Keempat; Jangan sampai menjadi lelucon seksis

Jika lelucon tentang seks merendahkan kaum wanita, maka lelucon tersebut akan menjadi lelucon seksis. Efeknya bisa melebar. Kaum wanita yang tidak terima bisa saja dianggap terlalu baperan atau tidak asyik diajak bercanda.

Saat mereka mengeluh, hanya ditenangkan dengan mengatakan bahwa itu hanya sekadar guyonan. Padahal, bisa saja korban sudah merasa tidak nyaman hingga menimbulkan trauma padanya.

Kelima; Saling Menghargai

Sayangnya korban lelucon seksis bukan hanya milik kaum perempuan saja, lelaki pun terkadang menjadi korban. Dalam budaya patriarki, konsep yang diyakini adalah pria harusnya lebih superior.

Pun halnya dengan jenis pekerjaan dan posisi jabatan. Seringkali kita menemukan lelucon tentang pria yang diolok-olok karena profesi pilihannya, atau karena jabatannya yang rendah. Konteks "sangat lelaki" atau "kurang lelaki" pun terbersit dalam candaan yang tidak perlu.

Untuk itulah, ada bagusnya kita saling menghargai. Bahwa pria dan wanita memiliki kesetaraan. Tidak ada yang membedakan apa pun status dan posisinya di masyarakat. Merekatkan diri dengan sebuah lem bernama empati sangat patut direnungkan.

Lantas bagaimana dengan guyonan seks? Apakah Diperbolehkan?

Pandai-pandailah berguyon, karena setiap orang berhak untuk hidup nyaman, tanpa gangguan, dan menikmati candaan. 

Saya sendiri juga harus jujur, kadang masih terselip lidah. Untuk itu, jika ada guyonanku yang tidak berkenan, saya mohon maaf.

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun