Jika lelucon tentang seks merendahkan kaum wanita, maka lelucon tersebut akan menjadi lelucon seksis. Efeknya bisa melebar. Kaum wanita yang tidak terima bisa saja dianggap terlalu baperan atau tidak asyik diajak bercanda.
Saat mereka mengeluh, hanya ditenangkan dengan mengatakan bahwa itu hanya sekadar guyonan. Padahal, bisa saja korban sudah merasa tidak nyaman hingga menimbulkan trauma padanya.
Kelima; Saling Menghargai
Sayangnya korban lelucon seksis bukan hanya milik kaum perempuan saja, lelaki pun terkadang menjadi korban. Dalam budaya patriarki, konsep yang diyakini adalah pria harusnya lebih superior.
Pun halnya dengan jenis pekerjaan dan posisi jabatan. Seringkali kita menemukan lelucon tentang pria yang diolok-olok karena profesi pilihannya, atau karena jabatannya yang rendah. Konteks "sangat lelaki" atau "kurang lelaki" pun terbersit dalam candaan yang tidak perlu.
Untuk itulah, ada bagusnya kita saling menghargai. Bahwa pria dan wanita memiliki kesetaraan. Tidak ada yang membedakan apa pun status dan posisinya di masyarakat. Merekatkan diri dengan sebuah lem bernama empati sangat patut direnungkan.
Lantas bagaimana dengan guyonan seks? Apakah Diperbolehkan?
Pandai-pandailah berguyon, karena setiap orang berhak untuk hidup nyaman, tanpa gangguan, dan menikmati candaan.Â
Saya sendiri juga harus jujur, kadang masih terselip lidah. Untuk itu, jika ada guyonanku yang tidak berkenan, saya mohon maaf.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI