Mohon tunggu...
Acek Rudy
Acek Rudy Mohon Tunggu... Konsultan - Palu Gada

Entrepreneur, Certified Public Speaker, Blogger, Author, Numerologist. Mua-muanya Dah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siauw Giok Tjhan, Menteri yang Cinta Indonesia dengan Tetap Menjadi Tionghoa

25 Juni 2021   05:46 Diperbarui: 25 Juni 2021   18:43 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"[...] dan untuk menjadi seorang yang cinta dan loyal terhadap Indonesia, seseorang tidak perlu menanggalkan latar belakang budaya Tionghoa."

Kutipan ini berasal dari seorang politisi dan juga tokoh perjuangan bangsa. Namanya Siauw Giok Tjhan.

**

Tanggal 4 November 1965, pukul 04.00 pagi.

Rumah di Kawasan Menteng, Jakarta diobarak-abrik sekelompok tentara bersenjata lengkap. Seluruh keluarga yang tinggal di sana gemetar ketakutan.

Tapi, mereka tidak bisa melakukan apa-apa ketika sang ayah diangkut dengan mobil bak terbuka. Tidak tahu kemana.

"Saya masih berusia 9 tahun, sebagai anak kejadian tersebut menimbulkan trauma. Ayah dibawa entah kemana, kami semua khwatir apakah ia akan kembali pulang," ujar Siauw Tiong Djin, putra dari Siauw Giok Tjhan.

**

Itulah sekilas kejadian di rumah Siauw Giok Tjhan. Ia adalah tertuduh PKI.

Siauw memang terdaftar sebagai anggota tetap parti tersebut. Ia bergabung ketika Surat Kabar Harian Rakjatnya dibeli oleh PKI, pada tahun 1953.

Namun, Siauw tidak terlalu peduli dengan ajaran Marxisme atau Komunis. Ia hanya peduli pada kesejahteraan kaumnya. Warga Tionghoa Indonesia yang kerap mendapat perlakuan diskriminatif sejak orde lama hingga orde baru.

**

Siauw Giok Tjhan lahir di Kapasan, Surabaya. Daerah itu adalah Kawasan pecinan di zamannya. Ayahnya Bernama Siauw Gwan Swie, seorang China Peranakan. Ibunya Kwan Tjan Nio, seorang China Totok dari suku Hakka.

Sewaktu kecil, Siauw Giok Tjhan disekolahkan di sekolah China Tiong Hoa Hwe Koan atas permintaan kakek dari pihak ibunya.

Namun, pada saat kakeknya pergi ke China, Siauw pindah ke Sekolah Dasar Belanda, Europeesche Lagere School.

Saat kakeknya kembali ke Surabaya, ia terkejut karena cucunya tak bisa berbahasa Tionghoa. Jadilah Siauw kecil dipaksa bekerja di toko sang Kakek sewaktu pulang sekolah.

Minat belajar Siauw Giok Tjhan di Sekolah Belanda sangatlah menggebu-gebu. Ia dengan mudah mempelajari bahasa asing, Inggris, Jerman, Belanda, dan Prancis.

Siauw adalah murid yang pandai dan gemar membaca. Mulai dari novel roman detektif dalam bahasa asing, hingga koran lokal, Pewarta Soerabaja dan Sin Tit Po. Semua dilahapnya.

**

Pada tahun 1920, depresi ekonomi terjadi di Nusantara. Kakek Siauw kembali ke China karena bangkrut. Praktis, Siauw lebih bebas mencari ilmu tanpa tekanan sang kakek.

Pada tahun 1932, ayah dan ibunya meninggal di saat yang hampir bersamaan. Usia Siauw masih sangat muda, 18 tahun. Syahdan, ialah yang harus menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya.

Menjadi dewasa dengan cara yang tertekan, Siauw mulai meminati politik. Ia ikut aksi boikot yang dicetuskan oleh Liem Koen Hian, terhadap politik sepak bola Belanda di Surabaya.

Baca juga: Liem Koen Hian, Tokoh Wartawan, dan Politisi Tionghoa

Berkat kemampuan menulisnya, Siauw bergabung dengan Sin Tit Po di bawah bimbingan Liem. Namun, pada tahun 1934, saat koran Mata Hari yang berbahasa Melayu dan Tionghoa berdiri, Siauw bergabung di sana. Surat kabar ini di bawah asuhan PTI (Partai Tionghoa Indonesia).

Siauw mengurus cabang Surabaya, sementara kantor pusat harian ini berada di Semarang. Selama 5 tahun, Siauw bekerja pada harian ini, hingga pada tahun 1939 ia menjadi editor utama.

Pada tahun 1940, Siauw menjadi pimpinan redaksi. Namun, tidak bertahan lama. Surat kabar ini ditutup Jepang pada tahun 1942 karena dianggap terlalu keras menentang imperalisme.

Tahun 1940, Siauw menikah dengan pujaan hatinya. Tan Gien Hwa, yang merupakan seorang putri pedagang sukses dari Pemalang.

**

Pada era pendudukan Jepang, Siauw pindah ke kota Malang. Ia menjadi pengusaha dengan membuka toko bahan pokok. Akan tetapi, jiwanya tidak di sana. Jurnalisme dan gerakan kemerdekaan adalah hasratnya. Akhirnya toko tersebut ia serahkan ke saudaranya.

Siauw lanjut terlibat dalam gerakan revolusi. Ia memimpin organisasi milisi Tionghoa bentukan Jepang, Kakyo Shokai. Di sini, Siauw punya banyak jasa untuk mengajak pemuda-pemuda Tionghoa mendukung kemerdekaan Indonesia.

Berpura-pura tunduk pada Jepang, Siauw bisa mengorek banyak rahasia dari mereka. Informasi ini yang kemudian ia bocorkan kepada milisi Indonesia lainnya.

**

Partai Sosialis Indonesia menjadi kiblat politik Siauw. Di sanalah ia berkiprah setelah Indonesia merdeka.

Sebagai anggota partai, Sjahrir pernah mengajak Siauw ikut dalam rombongannya, menghadiri acara Inter Asian Conference di New Delhi, India pada 1947.

Di sini Siauw memberikan pandangan bagaimana mencintai Indonesia kendati berdarah Tionghoa.

Pada tahun 1946, Bung Karno menunjukknya sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Sebuah Lembaga semacam parlemen pada awal terbentuknya Republik Indonesia.

Siauw Giok Tjhan pernah juga ditunjuk sebagai Menteri Urusan Minoritas dalam Kabinet Amir Syarifuddin. Sebagai Menteri, Siauw tetap tahu diri.

Pada saat Ibu Kota Negara pindah ke Yogyakarta di tahun 1946, Siauw diberikan fasilitas penginapan di Hotel Merdeka. Siauw menolak dan memilih tinggal di Gedung Kementerian Negara. Alasannya demi menghemat pengeluaran negara.

Ia tidak mendapatkan mobil dinas. Tugas sehari-harinya Siauw lakukan dengan naik andong atau jalan kaki. 

**

Saat Kabinet Amir bubar, Siauw menjadi oposisi pemerintah Hatta dengan bergabung bersama Front Demokrasi Rakyat.

Pada tahun 1949, Siauw terpilih menjadi anggota DPR RIS. Di sini, Siauw kembali menekuni aktivitas jurnalistiknya yang sempat vakum untuk beberap tahun.

Siauw mendirikan Sunday Courier dan Republik. Ia juga menerbitkan Suara Rakjat yang kemudian berubah menjadi Harian Rakjat.

Pada tahun 1953, ia mulai dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Harian Rakjat dibeli oleh PKI. Ia tidak saja menjadi kontributor tetap, tapi juga bergabung sebagai anggota Partai.

Kendati demikian, afiliasi politik yang dipilih Siauw, semuanya hanya bermuara ke satu hal. Membela komunitas Tionghoa dari diskriminasi, serta memperjuangkan hak kewarganegaraan bagi orang Tionghoa.

Baperki dibentuk pada tahun 1954 untuk melanjutkan perjuangan Siauw bagi warga Tionghoa. Dengan cepat, jumlah anggotanya mencapai 300.000 orang.

Cita-cita perjuangan terbesarnya adalah menjadikan suku Tionghoa sebagai salah satu suku yang diakui di Indonesia. Dengan demikian, kebudayaan leluhur dapat tetap terjaga.

**

Giat Baperki meluas hingga ke Pendidikan, ratusan sekolah di seluruh negeri menjawab tantangan atas larangan Kabinet Djuwanda yang tidak memperbolehkan orang asing (Tionghoa) menuntut ilmu di sekolah asing (sekolah China).

Salah satu karya terbesarnya adalah dengan membangun Universitas Res Publica (UNRECA) pada tahun 1960.

Baca juga: Res Publica, Universitas Tionghoa yang Tertuduh PKI, kini Trisakti.

Baperki di bawah pimpinan Siauw Giok Tjhan benar-benar menunjukkan tajinya. Pada tahun 1955, ia mendapatkan satu kursi di Parlemen dengan 180.000 suara, kendati bukan organisasi politik.

Pada tahun peristiwa 1965 melanda negara, Baperki dituduh sebagai antek PKI dan menjadi sasaran pembubaran militer.

Padahal menurut Asvi Warman Adam, sejarawan dari LIPI, secara resmi hanya satu ormas PKI, yaitu Pemuda Rakjat. Sementara Baperki, sama dengan Gerwani, dan Lekra, hanyalah tuduhan yang dilayangkan oleh pemerintah Orde Baru.

Siauw pun ditangkap sebagai tahanan politik beserta beberapa anggota Baperki lainnya.

Ia ditahan selama kurang lebih 12 tahun. Ia harus berpindah rumah tahanan selama beberapa kali. Dalam tiga tahun pertama masa penahanannya, Siauw bahkan sangat susah berkomunikasi dengan keluarganya.

"[...] sangat sulit. Kadang hanya lima menit dalam sebulan hingga dua bulan sekali. Pertemuannya selalu dijaga petugas, dan tidak bisa terlalu banyak bicara," ujar Siauw Tiong Djin yang kini tinggal di Melbourne, Australia.

Hingga akhirnya pada tahun 1978, atas bantuan Adam Malik, ia diizinkan ke Belanda karena sakit keras. Selama di Belanda, Siauw Giok Tjhan masih tetap aktif berpolitik.

Pada tahun 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal pada usia 67 tahun. Ia terkena serangan jantung, sesaat sebelum berpidato di depan para ahli dari berbagai bidang keilmuan di Universitas Leiden, Belanda.

Ia pergi untuk selamanya di negeri orang. Jauh dari tanah air yang ia cintai. 

**

"Lahir di Indonesia, besar di Indonesia, menjadi Putra-Putri Indonesia."

Ini adalah semboyan yang membuat Siauw Giok Tjhan hidup untuk memperjuangkan Integrasi. Bahwa Suku Tionghoa tidak ada bedanya dengan suku-suku lainnya di bumi Nusantara.

Kelak nilai Integrasi yang diperjuangkan oleh Siauw Giok Tjhan sangat mirip dengan konsep "Pluralisme" dan "Multikulturalisme."

Referensi: 1 2 3 4

SalamAngka

Rudy Gunawan, B.A., CPS

Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun