Kamis 08.04.2021, 12.17 siang
Saya menerima sebuah pesan whatsapp dari almarhum Kompasianer Abdul Azis Le Putra Marsyah.
Isinya; "Assalamualaikum bapak mungkin berminat beli bukunya mas ajis?"
Sejujurnya saya sempat bergidik. Membayangkan mendapat pesan dari alam sana. Namun, masih siang dan belum malam. Akal rasional masih terjaga aman.
Aku pun mengajak si "Azis" untuk berbincang. Ia adalah adik sepupu almarhum. Namanya Melda. Berbasa-basi menanyakan hubunganku dengan almarhum, perbincangan diakhiri dengan memesan satu eksemplar buku kenang-kenangan.
Kematian Kompasianer Abdul Azis cukup riuh di Kompasiana. Beberapa tulisan berseliweran, dari puisi hingga obrituari. Begitulah cara para Kompasianer mengheningkan cipta bagi sesama pejuang literasi.
Diri kembali merenung. Andai aku mati, apakah para Kompasianer akan melakukan hal yang sama kepadaku. Berapa banyak tulisan yang akan dibuat? Tentang apa? Apakah kesan mereka pada diriku? Ah, masih banyak lagi.
Jelas itu adalah sebuah pertanyaan yang tak mempunyai jawaban. Nanti saja, jika benar-benar kejadian.
Kematian adalah hal pasti. Hanya masalah waktu saja. Sayangnya kita tidak pernah tahu kapan ia akan datang menghampiri.
Namun, jika hari ini semuanya harus diakhiri, apakah yang akan terjadi?
7 hari pertama kamu akan diratapi. 7 bulan selanjutnya engkau akan dirindukan, 7 tahun berikutnya dirimu akan dilupakan.
Jiwa berkelana meninggalkan nama. Apakah arti dari sebuah nama?
Sebagai inspirasi bagi generasi berikutnya? Atau hanya akan terus di sana. Melapuk bersama nisanmu.
(1)
Daftar mulai dibuat. Mencari hal-hal yang belum pernah dirasakan. Nikmat surga atau siksa neraka menjadi urusan nanti. Mungkin juga, itu tak pernah terjadi.
"Yang penting saya hepi, padahal hati sudah tak bisa lagi bersemi."
(2)
Tuhan mulai dicari. Seperti apakah wajah Tuan yang akan mengadiliku nanti? Mencoba mendekatkan diri pada-Nya. Mengirim pesan melalui doa.
"Tuhan ampunilah hambamu. Padahal Sang Khalik mungkin sudah lama mendengarkanmu."
(3)
Sedih rasanya melihat si Bungsu. Tertidur nyenyak dalam pangkuan ibunda.
Aku menyapanya, si bungsu tak menjawab. Masih banyak urusan yang harus ia hadapi. Engkau tak dibutuhkan lagi.
"Entah apa yang akan terjadi padamu, nak. Semoga engkau tabah menghadapi."
(4)
Hati tak pantang menyerah. Nasib tidak bisa diterima begitu saja. Pasti ada jalan, mungkin ada mujizat.
"Nyatanya keajaiban hanyalah kisah dongeng masa kecil."
(5)
Harta dikumpulkan sejak muda. Tidak akan dibawa mati. Sudah basi terdengar. Tanpa harta kita pun akan mati muda. Dilema yang tak akan pernah berakhir.
"Lalu mengapa dosamu bergelimang?"
(6)
Mati menderita bukan pilihan. Lebih baik terlelap dalam kesunyian. Mati menderita bukan alasan. Lebih baik tidak pernah ada dalam kehidupan.
"Nyatanya aku ada untuk hidup."
(7)
Teruslah bertanya, hingga sang waktu tak lagi menemanimu. Jam di dinding akan selalu ada di sana. Tak pernah mati, walau engkau sudah pergi.
"Pergilah engkau, tukang loak telah menantiku."
(8)
Keluarga memberi kekuatan, para sahabat memberi dukungan. Tapi, tanah kuburanmu sudah disiapkan. Demikian pula apa yang akan tertulis di atas batu nisan.
"Dua buah angka yang saling bertatutan, melambangkan durasi yang tak berharga."
(9)
Aku mungkin berada di sana, dimana? Tidak ada yang bisa menjawab. Ruh ku akan melayang, menyapa para sahabat yang berpesta riang. Seorang nenek menyapaku;
"Wajahmu tak lagi nyaman dipandang, nak"
**
Hingga tulisan ini dibuat, nyatanya aku masih hidup. Entah akan berhenti di angka berapa. Mungkin juga tidak akan berhenti. Entahlah
Yang pasti diriku masih hidup, jalani saja. Hidup bukan masa lalu, juga bukan masa depan. Hidup itu sekarang, saat ini, masa ini, detik ini.
Tapi bisa saja, kematian akan datang padaku. Hanyalah masalah waktu. Seperti yang terungkap di bawah kalbu. Empat Syair akan menyertaiku;
Ketika dua insan kembali fitrah, keterbatasan adalah kemerdekaan.
Pertiwi mengenal lengkapnya dasawarsa, tepuk tangan riuh kan kosong terdengar.
Empat angka mendaki puncak tertinggi, dua yang terakhir bukanlah akhir zaman.
Sang Khalik akan bersabda, mengakhiri lima anugrah terbesar yang disia-siakan.
SalamAngka
Rudy Gunawan, B.A., CPS
Numerolog Pertama di Indonesia -- versi Rekor MURI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H